↻ Lama baca 2 menit ↬

Termos dengan termometer digital pada tutup

Ketika memindahkan termos bertermometer ini dari mobil ke dapur, ingatan saya pun berkeliaran. Yang pertama tentu soal nama. Termos berasal dari jenama Thermos dari Amerika, meneruskan temuan ilmuwan Skotlandia Sir James Dewar (1892). Ya, seperti Petromax yang menjadi petromaks dan Storm King yang menjadi strongking.

Bermula dari merek Thermos untuk vacuum flask jadilah nama benda: termos

Yang kedua, ketika saya membaca majalah anak-anak Kawanku, saat saya masih SD, ada artikel kecil cara untuk memeriksa apakah termos retak: menempelkan mulutnya di telinga kita. Jika berdengung berarti belum retak.

Yang ketiga? Generasi saya tak mengalami masa kecil pergi ke sekolah berbekal termos. Saat masih TK, di Salatiga, saya memang berbekal tempat minum, dari plastik, ada talinya, tapi bukan vacuum flask. Lumayan sih, teh manis panas dari ibu saat saya minum di sekolah masih hangat.

Begitu masuk SD saya tak berbekal tempat minum. Malu karena tidak lumrah. Kalau uang jajan yang ngepas itu habis, saat istirahat saya ikut teman saya, melalui jalan pintas, pulang ke rumahnya, di Jalan Bringin, untuk minum. Kadang dapat es sirop, kadang es mambo. Saat itu kulkas barang mewah, punya keluarga dia dari model Westinghouse yang tambun.

Sampai kuliah saya tak pernah berbekal minuman. Kalau kehausan dalam perjalanan pulang, jalan kaki dari Sekip maupun Bulaksumur ke Kepuh di Jogja, saya menyinggahi gerobak berpayung di depan kantor distributor Coca Cola di Samirono. Kalau tak membeli Coke saya memilih Fanta merah karena yang ungu anggur sudah diskontinu, yang jingga juga rehat saat itu. Begitu banyak karet ganjal tutup botol yang saya kumpulkan, lalu saya amplopi untuk saya cemplungkan ke kotak distributor, namun belum pernah saya menang undian berhadiah.

Setelah Aqua lumrah, saat pergi jauh saya berbekal botol minum air dalam kemasan sambil menyampahkan botol plastik. Ketika saya bekerja di Jakarta, ada yang menyebut saya seperti sopir mikrolet, selalu bawa handuk kecil dan botol Aqua. Hal itu berlangsung sampai kini — kecuali ke mal — tetapi botol sekali pakai sudah berganti botol isi ulang.

Anak-anak saya mengalami membawa minuman sejak TK hingga tamat kuliah. Beda generasi beda kebiasaan. Untuk anak SD, sudah biasa apabila penumpang mobil antar jemput itu batuk pilek bergiliran karena minum dari wadah yang sama bergantian.

Kalau termos minuman panas? Dulu, saat muda, hanya saya lihat di kalangan orang yang lebih tua. Mereka berbekal kopi ke kantor. Bagi saya dulu agak aneh, siang-siang kok ngopi. Dulu, dalam kebiasaan saya, kopi itu hanya cocok untuk pagi, sore, dan malam.

Kini ada pilihan lengkap minuman, dingin maupun panas. Kopi hangat, termasuk kapucino, dibeli di gerai lalu ditenteng ke kantor. Ada juga yang memiliki penggiling kopi kecil manual, karena di kantor tersedia penjerang air elektrik yang selalu bersiaga dengan air panas maupun setidaknya dispenser dengan air panas 80° C, pas untuk kopi dan teh.

Lalu termos air panas? Dalam kebiasaan keluarga saya, cocok diisi teh. Menjadi bekal dalam mobil. Saat masuk ke ruang resepsi tentu tak kami bawa.

Termos dengan termometer digital pada tutup

Jangan tertawa kalau ditawari termos