Waktu untuk membaca maupun menyimak musik bagi banyak orang tua kian menyusut.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Nemu CD lawas rock ballads enam keping

Sore tadi ketika saya mencari buku di rak, yang tak tertata rapi itu, saya temukan sesuatu. Tetapi saya tak merasakannya sebagai harta karun, karena set boks CD musik ini milik saya sendiri, yang saya beli dua belas tahun silam, pada 2010. Mungkin tujuh tahun lalu barang ini terselip dalam dus buku ketika saya membawa pulang aset pribadi dari Rumah Langsat.

Set boks ini berisi 101 lagu rock ballads dalam enam cakram, kompilasi Universal Music Indonesia, dari Black Sabbath sampai Maroon 5. Tak semua saya sukai. Entahlah mengapa dulu saya beli. Seperti halnya buku, kunjungan ke toko CD kadang dijebak impuls setani untuk membeli.

Nemu CD lawas rock ballads enam keping

Boleh jadi impuls pembelian buku dan CD itu karena di tiga kantor berbeda saya memiliki ruang kerja dengan rak buku dan micro-hifi. Sehingga di rumah maupun kantor saya punya buku dan CD. Saya tahu, dari stempel buku maupun embos sampul CD mana sajakah yang saya tera di kantor dan di rumah. Peneraan itu setelah pulang dari toko atau pesanan tiba.

Kini masih perlukah rekaman fisik? Saya bukan audiophile, sehingga cukup puas dengan streaming. Atas nama penghematan, saya kini hanya melanggani Spotify, hanya untuk satu akun, sama seperti terhadap Netflix, tak ada lagi langganan untuk keluarga. Apple Music sudah saya tinggalkan, padahal dia memiliki pustaka yang tak ada di Spotify, termasuk musik Indonesia.

Nemu CD lawas rock ballads enam keping

Waktu setiap orang itu terbatas. Sehari tetap 24 jam, yang sepertiga untuk tidur. Waktu baca dan daya tahan mata terhadap aksara pada kertas maupun layar gawai, dalam kasus saya, juga menurun. Untuk musik bisa disambi, dan ini yang lebih sering. Saya bukan penikmat musik yang kafah.

Nemu CD lawas rock ballads enam keping

Mungkin karena itu makin ke sini saya lebih sering memutar musik instrumental — tetapi saya menyadarinya belakangan. Bahkan belakangan saya lebih kerap menyetel radio. Kalau ada lagu yang saya lupa, atau malah belum tahu, saya tinggal menyalakan Soundhound di ponsel. Entah kenapa Shazam saya tinggalkan.

Kini saya paham kenapa kebanyakan teman-teman saya yang sebaya, apalagi yang lebih tua, sejak belasan tahun silam, bahkan sebelumnya, tak mengikuti perkembangan musik maupun buku. Capek dan nggak ada waktu, kata mereka.

Tentu masih ada kawan yang rajin membaca buku, bahkan berkelas kutu buku — kalau saya memang bukan kutu buku — karena pekerjaan, misalnya dosen, dan bukan dosen namun memang doyan bacaan hingga tua dan kadang menulis dengan buku dan diskografis secara jelas. Misalnya beliau ini, yang barusan membahas The Rolling Stones. Juga tentang God Bless. Pun tilikannya yang tajam ihwal BTS Meal. Saya tak tahu berapa jumlah CD dan buku dia. Ihwal David Bowie dia saya anggap khatam.

Musik dan usia pendengar

Media dengar, dari Manifesto Komunis sampai cerpen Seno Gumira

Generasi tua penguras kuota sesama via WA

3 thoughts on “Saya kira buku, ternyata cakram lagu

  1. Kalau saya, makin ke sini makin jarang mendengarkan musik. Padahal, dahulu kala, koleksi kaset Genesis dan Pink Floyd saya komplet, punya beberapa kaset album Marillion, pun punya kaset album-album Stones, The Police, Queen, dan lain-lain — termasuk Linkin Park.

    Sekarang kalau dengerin musik via YouTube di ponsel atau TV berbayar, tapi sudah sangat jarang.

    .

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *