Biji gandum di tengah masalah konten visual media berita

Punya konten bagus tapi berbayar, bikin publik kesal. Punya konten sip di media gratis tapi khalayak cuek, penerbit kuciwa.

▒ Lama baca 2 menit

Foto jurnalistik impor gandum

Selama ini saya tak punya bayangan bagaimana gandum impor masuk ke Indonesia. Saya hanya tahu bahwa gandum diangkut kapal. Dari sebuah serial foto Kompas, tentang kesibukan di Pelabuhan Tanjung Priok, saya jadi tahu bahwa gandum masuk sebagai biji, bukan tepung terigu, yang dicurahkan dari kapal ke truk.

Foto jurnalistik impor gandum

Saya merasa pengetahuan saya bertambah, dipasok oleh foto jurnalistik yang bagus. Sama seperti tempo hari saya merasa tercerahkan oleh foto berita tentang distribusi antarpulau minyak goreng curah: dari tangki kapal bersandar dipompakan ke truk tangki yang menunggu di dermaga.

Foto berita minyak goreng curah

Fotografi sebagai kemewahan

Foto-foto yang bagus dari media, hasil jepretan fotografer dalam maupun dari kontributor dan agensi foto, sebenarnya barang mewah. Ya, mewah. Pada era media cetak masih meraja pun foto bagus dengan penggunaan legal itu mahal. Lalu hari ini? Untuk media daring, foto bagus legal juga mahal.

Tak semua media daring mampu menyajikan foto bagus karya sendiri karena masalah sumber daya: manusia, peralatan, dan biaya. Ketika drone berkamera makin terjangkau, berapa media yang punya, bisa menyediakan untuk awak redaksi di daerah? Bahkan untuk melanggani foto Antara pun tak semua media ma(mp)u. Apalagi memesan pemotretan, bukan membeli foto arsip, kepada fotografer luar secara on assignment, mana ma(mp)u?

Kesibukan di Pelabuhan Tanjung y

Era media yang disebut pers itu sudah (hampir) lewat. Jika menyangkut konten visual, aneka platform media sosial memberikan ruang untuk foto dan video orisinal maupun terlebih foto dan video hasil mencomot tanpa atribusi.

Dahulu kala sebelum revolusi digital, apalagi saat media cetak masih dibatasi SIUPP, foto bagus di luar lembaga pemberitaan itu banyak, namun hanya diketahui komunitas fotografi. Pilot, orang pertambangan, dan orang-orang lain yang bekerja di sektor industrial yang tak mudah diakses publik, punya foto eksklusif dunia kerja.

Kemudian setelah ada media sosial, foto dan video itu mudah dilihat. Atau justru lembaga penaung para pemotret yang memublikasikannya. Kemenhub pernah melakukannya (2020).

Buku galeri foto gratis Kemenhub

Medsos menggusur media berita

Di sisi lain, seiring kesadaran pelaku bisnis terhadap kekuatan media sosial maka pengela mal, toko, dan kedai membiarkan pembuatan foto dan video spontan dengan ponsel oleh pengunjung. Ilmu Tom Sawyer pun berlaku: biarkan mereka bermain untuk mempromosikan saya, itu lebih murah daripada menyewa agensi.

Sudah lama Instagramable menjadi mantra. Lalu ketika media daring membahas kedai dan menu, awak redaksi tak perlu mengudap sendiri, cukup memasang kode sematan (embed code) sebuah akun. Lebih murah. Hal serupa berlaku untuk foto pesohor, tak perlu membuat sesi foto seperti pernah dilakukan Kapanlagi. Juga idem untuk foto busana karya desainer: ambil dari IG. Bahkan acara gosip dan infotenmen stasiun televisi pun mencomot IG dan Twitter.

Ada lebih dari satu teman yang mengeluhkan media sosial, bahkan dengan nada seram: “Medsos membunuh media berita dan jurnalisme.” Oh, kalau ditambah robot mungkin sungutannya lebih menyengat sekaligus meratap.

Membunuh jurnalisme. Hmmm… masa sih? Seumpama organisme, penerbit media akan beradaptasi dalam menugasi diri atas nama peran sosial. Ke mana arahnya, dan model bisnisnya, saya tidak tahu.

Keramaian media tanpa rumah

Praktik homeless media pun pasti akan berubah. Makin ke sini, penyelenggaraannya yang pun kian serius, mirip rumah produksi, berupa badan hukum. Publik yang akan menilai. Aparat pajak terus memantau.

Terhadap kanal Fitra Eri, publik dan industri otomotif bisa menakar independensi konten. Saya mengabaikan faktor Otodriver karena jenama personal Fitra itu kuat, didukung reputasi.

Kalau terhadap “podcast berupa video” Deddy Corbuzier? Kembali kepada publik dan narasumber. Memang sih saya menduga narasumber lebih nyaman dengan Deddy, sejak dia belum berpangkat mendadak letkol, karena mereka diberi panggung, bukan sebagai objek interogasi yang dicecar secara ofensif dan korektif, tetapi tuan rumah tak kehilangan pentas. Bagi narasumber juga lebih rileks ketimbang bikin konferensi pers yang akan disunting karena alasan durasi.

Juga, nah ini dia, di kanal video siapa pun, bagi narasumber itu semua lebih simpel ketimbang melayani wawancara khusus dengan media berita apalagi media kertas.

Kembali ke video Fitra, hampir semua rasa ingin tahu saya terpuaskan dalam liputan pelabuhan ekspor impor mobil.

Masalah media sekarang

Persoalan sekarang bagi media adalah buat apa bikin media berbayar kalau tak menghasilkan konten visual sip. Sedangkan bagi khalayak, untuk apa media punya gambar sip kalau sulit diakses secara gratis.

Lalu bagi media penyedia konten gratis, bikin konten visual bagus pun tak dipedulikan publik. Cuma buang duit dan waktu untuk pra sampai pascaproduksi. Buat apa dilakukan?

Tetapi kalau masalahnya bagaimana bikin media dengan ongkos murah, dan menguntungkan, itu adalah prinsip bisnis sehat untuk apa pun dan kapan pun — kecuali bikin media partai.

Buku foto gratis dari Kemenhub

Jangankan bayar, berita gratis saja enggan baca

Kok media bisa tamat?

Siapa yang motret itu ndak penting

Foto dan fotografer: Kian mewah bagi media?

Tinggalkan Balasan