Tentu, obrolan di medsos lebih diakses ketimbang media berita. Mestinya media yang membayar pembaca.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Media sosial itu suatu kemaharajaan dengan banyak raja pendukung. Media berita? Salah satu penghuni kerajaan, yang diperhatikan secukupnya, seperlunya, karena di sana lebih penting bagaimana orang-orang membahas berita, atau yang diyakini sebagai berita.

Maka hasil survei APJII awal tahun, yang dipublikasikan Juni 2022, ini menarik: orang lebih sering mengakses konten media sosial (89,15 persen) ketimbang portal berita (11,98 persen).

Bahkan apabila dibandingkan berita, 7.568 responden lebih sering mengakses obrolan dalam perpesanan (73,86 persen), belanja daring (21,26 persen), dan gim daring (14,23 persen).

Jika pengakses berita ada di urutan keempat, di bawahnya ada pemesanan jasa transportasi daring, musik, pengaliran audio/radio dan video, rapat virtual, kelas virtual, dan dompet elektronik.

Tentu data tadi tak dibaca dengan tafsir bahwa orang yang membaca berita tak mengakses konten lain. Ini bukan pertanyaan dengan jawaban tombol radio yang hanya bisa memilih satu jawaban, karena orang boleh menjawab sampai tiga pilihan.

Hasil lengkap Survei Perilaku Penggunaan Internet oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia dari laman survei APJII.

Gratis bukan jaminan laku

Senyampang dengan publikasi hasil survei APJII, Reuters Institute melaporkan hasil survei di Indonesia, ternyata minat terhadap media berbayar rendah. Tinjauan terhadap hasil survei itu sila buka Melekmedia.

Maka dari kedua survei itu, saya membatin lha wong baca media gratis saja enggan apalagi yang berbayar.

Padahal dari media berbayar ada konten eksklusif yang tak tersedia di media gratis. Misalnya investigasi, dari mafia air bersih di Jakarta sampai operasi plastik ilegal dan penipu asmara di dunia siber. Di sisi lain media gratis tentu sungkan mengambil konten eksklusif dari media berbayar, berupa artikel maupun infografik unik — kalau foto masih mungkin, terutama media gratis yang tidak besar.

Bagi sebagian media gratis, lebih menarik mengamplifikasi konten artis hiburan yang ada di media sosial, foto maupun video, karena ada yang membaca. Bahkan konten pemusik di YouTube pun bisa dimuat ulang sebagai teks serupa serial laporan.

Berat di ongkos?

Belakangan ini saya heran, posting saya yang mencuplik Kompas.id ihwal risiko gempa di selatan Jakarta ada saja yang membaca. Saat saya memosting itu, sejauh saya cari media gratis tak memuatnya.

Padahal dari laporan Kompas.id itu, media gratis dapat membuat liputan langkah lanjut dengan memperkaya narasumber, rujukan ilmiah, dan membuat infografik baru. Tetapi, ah ini hanya pengandaian saya selaku konsumen media gratis dan berbayar. Jangan-jangan ada persoalan SDM, bukan pada kapabilitas melainkan jumlah orang dan, ehm…, sumber daya keuangan juga. Selain itu juga perhitungan biaya dan manfaat: buat apa melaporkan kalau tak mendongkrak trafik. Semoga asumsi saya salah besar.

Bisnis media itu berat. Memang sih ada saja pemainnya di ranah daring, terverifikasi maupun tidak di Dewan Pers. Aneh jika media tak mengejar dua hal: trafik dan dampak, terutama dampak bagi kalangan pengambil keputusan. Majalah dinding anak sekolah pada abad lalu saja bisa membuat pengelola bermuram durja jika tak ada yang merubung apalagi media berita.

Pakem berita daring

Perihal kepercayaan khalayak terhadap media berita, sila tengok hasil survei Reuters. Saya tak akan membahasnya.

Saya hanya heran kenapa ada saja judul berita yang mendahului kesimpulan pembaca (“artis cantik” dan “artis seksi”), namun di sisi lain ada judul berita yang tak jelas (“segini penghasilan” dan “begini jawabannya”). Lebih bingung lagi ada berita di sebuah media daring besar, yang judulnya menyebut kenaikan iuran BPJS akan “jadi segini” namun dalam berita tak menyebutkan angka apalagi dari berapa menjadi berapa.

Apa artinya? Saya yang ketinggalan kapal. Tak kunjung memahami pakem berita era digital, bahkan masih membutuhkan judul yang dan ringkasan yang mencerminkan isi, lalu berharap pada paragraf ketiga sudah tergambarkan masalahnya. Ada yang bilang, gaya berita kesukaan pembaca macam saya takkan laku di media sosial. Jika benar, medsos memang suatu imperium.

Pembacaan dibayar, bukan membayar?

Kembali ke cara mengonsumsi berita, teman saya dalam dua kali obrolan di grup WhatsApp membayangan model bisnis akan berubah, “Sebentar lagi pelanggan malah yang dibayar … pengiklan (dan kepentingan) yang mengongkosinya.”

Aha! Ini lebih menarik daripada debat kusir maupun pokrol bambu tentang media sebagai public good. dan informasi kuratorial robotik.

¬ Gambar praolah: Shutterstock, APJII

Foto dan fotografer: Kian mewah bagi media?

Ketika konten seleb di medsos jadi berita

Media berita daring harus gratis?

Usia 57, Kompas lompat ke kripto

Native ads dan kecerdasan masyarakat

Bagaimana jika koran cetak menjadi poster saja?

Kok media bisa tamat?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *