Masa ya sih banyak orang tak memedulikan nama fotografer dari foto yang dimuat di media, kecuali mereka penggemar fotografi?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Foto liputan Kompas dari Ukraina

Lebih dari sekali saya mendengar dari orang yang berbeda, pun beda usia, bahwa siapa yang menghasilkan foto termuat di media kertas maupun layar itu tidak penting.

Bahkan teman yang kerap mengkritik media dan dianggap sebagai pengamat media pun tak pernah memperhatikan kredit foto. Dia malah pernah bertanya, “Oh kalau orang lain mau pake harus minta izin, minimal kalo nggak buat cari uang harus nulis foto oleh siapa?”

Teman saya, saat menjadi pemred sebuah majalah kuliner, pernah dipersoalkan seorang blogger karena mengambil foto dari blognya tanpa izin, tanpa pencantuman sumber.

Saya teringat dua hal di atas saat melihat foto jurnalis Kompas dari Ukraina di halaman depan. Kalau yang di halaman dalam mungkin diperhatikan karena fotonya dominan.

Foto liputan Kompas dari Ukraina

Tak semua media dari Indonesia mengirim wartawan ke sana. Dari sisi latar proses, foto ini punya nilai lebih. Tetapi jangan-jangan memang banyak orang tak peduli. Jika ya, berarti benarlah kata teman yang jurnalis: pembaca nggak ambil pusing. Dia dan timnya dahulu malah sering main embat foto dengan kredit “istimewa” atau malah “internet” — ini warisan zaman cetak.

Atau mungkin saya yang salah, sejak kecil sering memperhatikan kredit foto di koran dan majalah sehingga hafal beberapa nama jurnalis foto? Setelah tua, saya tetap memperhatikan namun tak dapat mengingat.

Saya teringat zaman media cetak. Ada majalah yang mewajibkan peliput ke luar negeri menghasilkan foto layak muat, sementara majalah lain lebih memilih repro foto dari brosur atau kartu pos karena bagus, tetapi yang utama ada foto si peliput berada di lokasi, untuk meyakinkan pembaca bahwa dia pergi ke sana. Sementara majalah yang tadi mengharamkan foto diri peliput dalam majalah, karena dianggap snob dan ndesit, justru lebih mementingkan kredit foto.

Beberapa tahun lalu ketika fotografer media tempat saya bekerja bisa memotret orang terkaya di Indonesia dari dekat, yaitu Michael Bambang Hartono, dalam wawancara khusus, saya bilang ke sejawat, “Ini foto langka, nggak lama lagi diembat banyak media termasuk TV.” Ternyata benar.

Foto liputan Kompas dari Ukraina

4 thoughts on “Siapa yang motret itu ndak penting

  1. Sekarang apapun yang dimuat di internet harus bersiap menghadapi resikonya. Sukur-sukur dikasih kredit, kalau sampai di crop dan di akui memang kebangetan ya. Jurnalis yang terjun langsung ke lapangan semakin langka sekarang. Hormat banget sama mereka yang sampai seperti itu.

    1. 1. Laporan khusus di media daring tempat saya bekerja pernah diangkut komplet oleh sebuah koran, menjadi laporan sehalaman, berikut foto-fotonya yang lebarnya bukan 250 px, dan mereka daku sebagai liputan mareka. Kasus kami laporkan ke Dewan Pers, tapi si pemred media plagiator tak menggubris panggilan Dewan. Yah, media dari network besar saja begitu…

      2. Bisnis media daring gratis makin berat terutama bagi yang baru dan bermain di breaking news atau hard news. Menggaji editor dan reporter saja berat apalagi fotografer. Kalau Multatuli kan beda, long form bukan breaking news, dan sejak awal menjadikan media sebagai semacam public good

      3. Dengan beratnya biaya produksi media gratis yang trafiknya rendah begitu pula iklannya, maka media berbayar semacam NYT, The Guardian, menyediakan harga khusus dengan pendekatan “berkontribusilah untuk jurnalisme yang layak” 🙏😇

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *