Buat apa tambah investasi kalau tak menambah trafik, cuma diapresiasi di media sosial.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Detik: Viktor Axelsen  dan putrinya, Vega

Foto pebulu tangkis Denmark Viktor Axelsen dan putrinya, Vega, dalam Indonesia Terbuka di Jakarta (Minggu, 19/6/2022), menggoda keisengan saya untuk melihat media apa saja yang memuat foto jepretan sendiri.

Dua media yang segera saya dapati punya foto sendiri adalah Kompas.id (yang akhirnya dipakai Kompas.com) dan Detikcom.

Kompas.id: Viktor Axelsen  dan putrinya, Vega

Foto dari sumber lain

Media lain memasang foto dari Antara. Memang itulah fungsi kantor berita foto: agar tak setiap media mengerahkan fotografer.

Nah, dalam pemuatan foto Antara ini ada yang menarik: ber-watermark. Artinya, foto diambil dari situs Antara Foto, atau Antara News, bukan dari unduhan berbayar dengan EXIF dan data lainnya lebih lengkap, misalnya kapsi, lagi pula resolusi foto lebih besar — layak untuk media cetak, kalau hanya untuk media daring harus diperas jadi mengecil.

Antara Foto: Viktor Axelsen  dan putrinya, Vega

Apakah berarti media pencomot foto Antara tidak berlangganan? Belum tentu. Mungkin berlangganan, tetapi saat pelanggan akan menaikkan berita, dari Antara belum ada unggahan.

Jika menyangkut foto tiga bulan lalu, sejauh terakhir saya tahu, arsip foto Antara di dasbor pelanggan tak menyediakan foto. Maka media terpaksa ambil foto ber-watermark, atau ambil foto dari media lain pemuat foto Antara, karena pemetikan dari luar jalur, oleh pelanggan, mestinya bukan masalah bagi Antara.

Kembali ke foto Axelsen. Ada juga media yang memasang foto tanpa kredit. Atau memasang foto dengan watermark Badminton Photo. Di Instagram juga ada akun agensi foto tersebut, yang memuat syarat “Media and commercial entities may not use, copy or repost any of our images“.

Sejak dulu soal foto memang merepotkan

Saya tak tahu berapa media yang mengirimkan fotografer ke Indonesia Terbuka di Jakarta. Mungkin banyak, tetapi karena saya hanya acak mengamati, maka temuan saya cekak. Anda yang orang media lebih tahu, sehingga dapat mengoreksi posting ini.

Tentang penugasan fotografer, lebih dari sekali saya mendengar rasan-rasan dari konsumen media. Kamera dan lensa makin terjangkau, dengan spesifikasi bukan yang teratas pun bisa menghasilkan foto layak, kenapa media malas mengirimkan fotografer?

Bukan salah mereka karena mereka tak tahu bahwa persoalannya bukan sekadar alat dan orang. Untuk gelaran, dari konser sampai olahraga, tak semua fotografer beroleh akses karena menyangkut posisi memotret dan kuota jumlah fotografer. Hal sama berlaku untuk acara kepresidenan. Zaman ada reli Camel Trophy, syarat fotografer itu berat, bukan hanya siap kena malaria. Demikian pula jurnalis foto untuk Dakar Rally.

Baiklah, itu tadi contoh ekstrem. Untuk peristiwa biasa, pada era pra-internet, masih memakai kamera berfilm, koran daerah yang punya biro di Jakarta pun tak dapat menghasilkan foto sendiri dari upacara kenegaraan. Foto Presiden Soeharto di atas jip menginspeksi pasukan dalam upacara HUT ABRI, misalnya, termuat dengan kredit AP/Antara — hasilnya pun jelek karena transmisi menggunakan Wirephoto.

Intinya, urusan foto yang aman secara legal itu mahal.

Oh ya, bukankah dengan ponsel yang bagus, fotografer jempolan bisa menghasilkan gambar bagus? Lebih murah bagi kantor membelikan iPhone, kan? Lha tergantung apa yang akan difoto dan bagaimana kondisi di lapangan. Sesi foto khusus dan pertandingan olahraga, yang memotret dari jauh, jelas berbeda.

Yang penting ada foto

Saya pernah mendengar guyon dari kalangan jurnalis, yang penting berita ada gambarnya. Tanpa gambar, CMS tak akan menayangkan. Soal foto dari mana, “Itu pinter-pinternya kitalah. Yang penting gratis.”

Guyon itu belum cukup. Masih ada lagi: foto nggak usah bagus-bagus amat, apalagi kalau hasil karya sendiri, soalnya pembaca hanya melihat sekilas di ponsel. “Pembaca juga nggak peduli itu foto karya siapa. Kalau foto kita bagus, tapi tanpa watermark, malah cuma kasih umpan buat media lain,” begitu yang pernah saya dengar.

Masih ada guyon ekstra, biasanya dari kalangan jurnalis foto: juragan enggan menambah alat dan jumlah fotografer. Buat apa tambah investasi kalau tak menambah trafik, “Cuma diapresiasi di Instagram oleh orang yang bukan pembaca kita.”

4 thoughts on “Foto dan fotografer: Kian mewah bagi media?

  1. Saya tersenyum membaca kalimat “Cuma diapresiasi di Instagram oleh orang yang bukan pembaca kita.” Itu ada benarnya, bila memang tujuannya ekonomi…
    Di media sosial bukan itu rata-rata tujuan seseorang, lebih ke berbagi info dan validasi, mungkin…

    1. Memang tak sederhana.
      Menyangkut foto yang hak ciptanya milik pihak lain, mestinya ada orang legal yang dampingi redaksi.

      1. Setiap bank foto, freemium maupun full berbayar punya aturan main

      2. Yang berbayar pun ada aturan khusus, misalnya jumlah pengakses dan jumlah foto, serta larangan menjual

      3. Untuk free images ada ragam aturan, misalnya untuk komersial atau bukan, nah jadi ranjau kalau situs berita karena terima iklan ditempatkan sebagai penyedia konten komersial

      3. Tapi untuk free images ada full bebas, termasuk untuk modifikasi dan komersial

      4. Para editor, bukan cuma editor foto, pasti sudah tahu tentang Creative Commons supaya bisa bekerja dengan tenang

      Ada sebuah ilustrasi menariknya. Ketika media online tumbuh awal 2000-an, sebuah tabloid sport otomotif juga bikin situs. Foto pakai cara berlangganan. Tapi ternyata disomasi agensi. Lho padahal sudah bayar kan? Dalam kontrak, penggunaan foto hanya untuk cetak, bukan daring. Urusan diselesaikan tanpa melibatkan pengadilan. Ada urusan bayar membayar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *