Mengenal Nyi Lurah Ayu dengan bahasa Inggris

Jangankan di Jabodetabek, orang Jawa di Jateng, DIY, dan Jatim pun bisa kagok membaca teks Jawa baku.

▒ Lama baca 2 menit

View this post on Instagram

A post shared by Keraton Yogyakarta (@kratonjogja)

Jika Anda orang Jawa, dan terbata-bata membaca teks Latin berbahasa Jawa yang memerikan Nyi Raden Lurah Kusumarastri Mataya dalam sematan di atas, bacalah teks bahasa Inggris di bawahnya. Memang demikianlah cara komunikasi akun Kraton Jogja, milik Keraton Yogyakarta, di Instagram: dwibahasa.

Untuk penjelasan lebih jangkap perihal Nyi Lurah dalam bahasa Indonesia, silakan membuka laman web Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, dengan nama domain kratonjogja.id. Kraton, karaton, keraton. Ada tiga macam penulisan. Lain kali saja kita bahas.

Bagi saya sudah sepatutnya jika Keraton Jogja juga berkomunikasi dengan bahasa Jawa disertai terjemahannya. Hal serupa berlaku bagi lembaga penerus kerajaan lainnya di Nusantara.

Nyi Raden Lurah Kusumarastri Mataya — Blogombal.com
© Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

Bulan ini Bulan Bahasa, tinggal dua hari lagi. Apakah bahasa daerah dan bahasa ibu akan bertahan dalam proses masyarakat Indonesia menjadi nasion, saya pernah menulis bahwa sepanjang masih fungsional akan bertahan (¬ “Ibu membunuh bahasa ibu“, 2022; “Bahasa daerah, bahasa ibu, mungkin hanya Anda kuasai sedikit“, 2023). Kini disertai catatan: dengan banyak kompromi.

Tepatnya adaptif: terbuka terhadap beraneka serapan kata baru. W.J.S. Poerwadarminta (1904–1968) ketika menyusun Bausastra Jawa tahun 1939 juga menyerap kata asing selain bahasa Arab. Misalnya dhinês (Indonesia: dinas), dari bahasa Belanda dienst. Eh, Sansekerta juga mulanya asing, ding.

Saya orang Jawa. Dengan istri berbahasa Jawa dan Indonesia. Namun dalam berbahasa Jawa istri saya lebih kerap menyebut ikan (bukan iwak) dan matahari (bukan srêngéngé).

Anak-anak saya ketika diajak bicara oleh simbah putrinya di Jogja dalam bahasa Jawa antara paham dan tidak. Bisa dimaklumi karena mereka anak Jakarta — tepatnya: Greater Jakarta, karena mereka anak Bekasi. Hal serupa berlaku bagi anak-anak lain dari pelbagai latar kesukuan. Bukankah tak semua orang keturunan Cina paham bahasa Mandarin, Hokkian, Khek, Tiociu, dan lainnya?

Infografik tentang Gesang dalam bahasa Jawa di Panjebar Semangat — Blogombal.com

Saya sendiri tak berkosakata lengkap dalam bahasa Jawa. Mendengarkan suluk dalang wayang kulit tak semua dapat saya cerna. Dulu membaca Panjebar Semangat saya masih paham, bahkan saya pernah menulis di sana, termasuk membuat infografik tentang Gesang (2021) dan rabies (2021) — saya merasa ada kata yang tak tepat namun tentu saja tak dapat diedit oleh redaksi karena teks bagian dari gambar.

Infografik tentang rabies dalam bahasa Jawa di Panjebar Semangat — Blogombal.com

Sebagai warga jemaat Gereja Kristen Jawa, saya gagap membaca Alkitab Bahasa Jawa. Pada jemaat gereja lain berlatar kesukuan, bahasa Indonesia lebih diakrabi. Misalnya di kalangan jemaat muda Gereja Batak Karo Protestan di luar Sumut. Demikian pula remaja jemaat Gereja Kristen Pasundan di Bekasi.

Saya dulu sering iseng memutar stasiun radio daring berbahasa Jawa. Misalnya Swara Koncotani, Swara Kenanga, dan sebagian program Retjo Buntung, yang semuanya disiarkan dari Jogja. Bahasa yang mengudara, termasuk percakapan via telepon dengan pendengar, tidak kaku baku. Meskipun demikian lebih cair lirik lagu campursari; saya pernah membahasnya (¬ “Kaca spion Denny Caknan“, 2021) .

Tentu tak semua lirik campursari, atau mungkin sebut saja pop Jawa, sangat bebas dalam berbahasa. Misalnya dalam tembang “Kepangku Kapang”. Adapun tembang “Jagat Anyar Kang Dumadi” yang dibawakan Soimah, namun mungkin tak termasuk campursari, liriknya belum tentu dipahami semua wong Jawa.

Bahasa Jawa tak kaku baku, namun tak semeriah adukan lirik campursari, saya dapatkan dari sandiwara audio berbahasa Jawa di Spotify, yang disutradarai Landung Simatupang. Untuk penulis naskah, tepatnya karya, disebut anggitanipun, judul disebut asesirah, pemeran disebut paraga, dan untuk sutradara tetap sutradara — padahal diserap dari bahasa Italia sottodirettore. Percakapan dalam sandiwara seperti drama bahasa Jawa Visa (Goenawan Mohamad), yang saya tonton di Teater Salihara, Jaksel (2011) oleh Teater Satu.

Adapun dari dagelan Mataram Basiyo (1914–1979), karena merupakan rekaman 1970-an, masih banyak terucapkan kosakata Jawa gaya Jogja yang kini jarang terdengar dari kaum muda. Misalnya ungak, ngungak, dan diungak — sebagai kata dasar berarti menjenguk ke arah dalam. Anak muda Jogja kini sejauh saya dengar jarang mengucapkan mergané, lebih kerap soalé.

Begitulah tak ada bahasa daerah yang steril. Bahasa Indonesia juga. Waliyadin, dalam artikel di Kompas (Selasa, 28/10/2025; dalam versi web sehari lebih awal), “Bahasa Indonesia Mendunia, Bahasa Nusantara Tetap Terjaga“, mengingatkan realitas superglossia dalam bahasa Indonesia. Jika diglossia adalah percampuran dua bahasa, superglossia adalah “situasi berbagai bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa global saling bersaing dalam ranah komunikasi”.

4 Comments

devie Sabtu 1 November 2025 ~ 11.59 Reply

Kepangku Kapang ini emang nyenengke. Apalagi yang versi Mbak Lala ini.

Pemilik Blog Sabtu 1 November 2025 ~ 14.36 Reply

Waaaaa betooollll…. 💐👏👍

Rudy Kamis 30 Oktober 2025 ~ 16.37 Reply

Walaupun secara genetis saya orang Jawa, tetapi saya lebih lancar berbahasa Indonesia, Sunda, Inggris baru kemudian bahasa Jawa.

Pemilik Blog Kamis 30 Oktober 2025 ~ 17.59 Reply

Hahaha. Mari menjadi orang Indonesia. Kemampuan bahasa Jawa saya juga mulai berkurang karena pergaulan. Kalo bahasa Inggris saya dari dulu memang memalukan. 🙈

Tinggalkan Balasan