Kalau memang tak lagi fungsional, suatu bahasa akan surut lalu punah. Yah, bagaimana lagi.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Buku Koentjoeng lan Bawoek

Bahasa ibu. Bahasa daerah. Bahasa kesukuan. Ketiganya bisa menyatu dalam diri seorang ibu. Misalnya seorang ibu Jawa yang tinggal di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jateng, dalam memperkenalkan bahasa pertama kepada anaknya.

Tentu dalam keluarga lain bisa berbeda. Bapak ibunya Jawa, tinggal di Sleman, DIY, tapi sejak kecil si anak diajak bicara orangtuanya dalam bahasa Indonesia — berdialek Jogja sih.

Sementara di Bonn, Jerman, saya pernah menginap di rumah sebuah keluarga, dengan suami orang Sunda dan istri orang Prancis. Anak mereka, lima tahun, dengan ibunya berbahasa Prancis dan Jerman, juga kadang Indonesia. Dengan ayahnya dia berbahasa Jerman serta Indonesia.

Saya tidak tahu bahasa manakah yang lebih tebal diterima oleh si anak dari ibunya yang guru bahasa Prancis di Jerman karena ijazah dari negerinya memang sebagai guru bahasa Prancis untuk orang asing.

Saya dari keluarga Jawa tanpa bukti dokumen DNA. Dengan orangtua saya berbahasa Jawa krama madya. Istri saya, juga Jawa, berbahasa ngoko dengan ayah dan ibunya. Setelah kami punya anak, tinggal di Bekasi, Jabar, tentu dengan mereka kami berbahasa Indonesia. Memang tak terhindarkan, kami sering menyisipkan kata-kata Jawa.

Yang jelas, karena anak kami sejak TK sampai SMA bersekolah di Jakarta — TK sampai SD di pinggir Kali Sunter, pemisah Jabar dan DKI — mereka tak mendapatkan pelajaran bahasa Sunda seperti murid lain di Bekasi.

Lalu? Membaca artikel Gufran A. Ibrahim di Kompas (23/2/2022), saya pun terkesan. Penulis memberikan temuannya: responden perempuan berusia 50-an di Sulut tak lagi berbahasa daerah dengan anak-anaknya yang berusia 5—25 tahun. Bahasa yang dimaksud adalah
bahasa Tonsea, bahasa Tondano, bahasa Tontemboan, bahasa Ratahan (Bentenan atau Pasan), dan bahasa Sangihe.

Hari yang sama, di halaman lain, Kompas melaporkan bahwa dari 718 bahasa daerah di Indonesia, 25 bahasa daerah terancam punah, enam bahasa daerah kritis, dan sebelas bahasa daerah telah punah. Data itu merujuk temuan Kemendibud Ristek. Untuk lingkup mondial, menurut berita itu, 200 bahasa daerah telah punah.

Terhadap kasus bukan genosida bahasa, sejak dulu saya menganggap surutnya bahasa kesukuan atau kedaerahan adalah konsekuensi proses menjadi nasion baru. Kalau suatu bahasa tak lagi fungsional, dia akan terpinggirkan.

Tentu serangkaian upaya merawat perlu kita apresiasi. Misalnya, di Radio Retjo Buntung, Yogyakarta, ada semenit tayangan berisi contoh penggunaan bahasa krama inggil.

Di sisi lain meskipun papan nama jalan di Jogja tertulis dalam aksara Latin dan Jawa, Sultan HB X sebagai gubernur tidak berbahasa Jawa dalam acara resmi — kecuali sisipan beberapa kata. Kalau selaku raja Jawa ya beda urusan.

Buku Koentjoeng lan Bawoek

Saya belum tahu apakah para editor dan karyawan majalah Panjebar Semangat dan Djaka Lodang selalu berbasa Jawa dengan anak-anaknya. Sementara lagu-lagu campursari banyak yang berlirikkan bahasa Jawa campuran, ada kata-kata berbahasa Indonesia. Misalnya dari Denny Caknan. Pengecualian berlaku untuk, misalnya, lirik lagu “Asmara Wedha” (Sri Narendra Kalaseba) dan “Kepangku Kapang” (Adif Marhaendra).

Buku Koentjoeng lan Bawoek

¬ Ilustrasi Koentjoeng lan Bawoek: jualbukuantik.blogspot.com

4 thoughts on “Ibu membunuh bahasa ibu

  1. Sayang sekali jika bahasa Ibu ditinggalkan. Ibu Pertiwi akan bersusah hati lagi. Perlu upaya konkret untuk menghidupkan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari. Tidak harus dengan program-program besar. Media sosial bisa menjadi lahan meriah untuk bahasa

    1. Suwun Mas Xar.
      Sebenarnya kembali kepada penuturnya, masih nyaman atau tidak dengan bahasa daerah atau kesukuannya dan dalam ranah apa saja.

      Dalam resepsi pernikahan Jawa, pidato bahasa dalang oleh pranatacara tak ada yang menyimak, malah ditinggal ngobrol oleh tetamu.

      1. Puluhan tahun silam sy membiasakan dua anak sy sehari2 berbahasa Indonesia jika di rumah. Tapi mereka tetap mahir berbahasa Jawa, termasuk bongso kromo dan kromo inggil, karena di pergaulan sehari 2 (tetangga, teman dolan dan teman sekolah) bahasanya adalah bahasa jawa.

        Kini dua anak sy tsb memakai cara yg sama untuk cucu-cucu saya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *