
Papan nama barber ini lebih menonjol daripada kios lain. Tepi Jalan. Kenapa Tepi Jalan? Kalau kita bercukur di tengah jalan akan ditabrak kendaraan. Dalam situasi darurat, pihak yang paling sigap menghindar adalah tukang cukur. Lokasi barber di Jalan Raya Hankam, Jatimurni, Pondokmelati, Kobek, Jabar. Di seberang Sate Pak Agus.
Nama Tepi Jalan mengingatkan saya pada barber Bawah Pohon. Masing-masing punya beberapa cabang. Bercukur di bawah pohon dan tepi jalan adalah bagian dari potret Indonesia vintage. Tujuh tahun lalu kalau ke Bawah Pohon di belakang Sarinah, Jakpus, saya melakukan penempahan via ponsel, tinggal datang sesuai jam.

Di blog njelèhi ini beberapa kali saya menulis barber. Buat apa saya bercukur? Meratakan sisa rambut. Pada mulanya, abad lalu, setelah rambut mulai rontok maka rambut panjang berkucir saya akhiri. Saya diledek sebagai ABCD (ABRI bukan, cepak doang). Dalam perjalanan waktu rambut terus menipis sehingga akhirnya saya bikin pelontos sekalian.
Kebotakan tidak datang mendadak sontak melainkan secara bertahap. Mestinya semua pria siap. Tidak perlu menyisir rambut dengan gaya aneh untuk menutupi keroak (Jawa: krowak). Lihat saja ada pejabat yang malas menanam rambut namun tetap menyisir rambut dengan gaya yang rentan tertiup angin, dan kian menampak saat berenang.

Bagi pria dewasa, botak itu bukan masalah — kecuali siang hari tanpa topi. Ada juga pria berambut tipis, sudah keroak pula, yang selalu bertopi di segala cuaca, siang maupun malam, di dalam maupun luar ruang. Hanya saat membuat pasfoto maka topi mereka lepas.

Hal yang tak nyaman dalam bertopi, untuk saya, adalah gerah. Tetapi kalau topi saya lepas, sudah sering tertinggal, termasuk dalam angkot dan taksi, serta rumah orang. Malam hari tetap bertopi itu perlu saat akan naik ojek, supaya kepala tak langsung menyentuh langit-langit helm. Kadang pakai Buff – ini merek, bukan nama benda — juga cukup.
Sejak pandemi lalu, saat ada pembatasan mobilitas warga dan kerumunan, saya membeli alat cukur supaya bisa swacukur. Lebih hemat, karena biaya pangkas pelontos maupun ala Kim Jong-un itu sama. Yang berselisih cuma nilai tipnya.
Lalu kenapa saya memelihara kumis dan jenggot, padahal kumis saya tak selebat Adam suami Inul? Untuk kompensasi. Tanpa kumis dan jenggot saya hanya punya alis.


2 Comments
Agus = agak gundul sedikit
Boxy = botak sexy
Polem = poni lempar
DPR = di (bawah) pohon rindang
Demikian kosa kata anak ’80-an seputar perambutan, Bang Paman 🙈🙏
Aha!
Waktu saya SD, setiap hari lewat pohon beringin di alun-alun Salatiga. Ada tukang cukur di sana, pakai bangku lipat, cermin digantungkan pada batang pohon. Tapi saya belum pernah bercukur di sana, saya pakai tukang cukur beralat elektrik, satu-satunya di Salatiga, namanya Pak Djamdjuri.