↻ Lama baca < 1 menit ↬

Media butuh biaya untuk memproduksi konten apalagi kalau harus bagus

“Saya sebel Oom, kalo orang nge-share berita tapi setelah diklik harus login. Taunya cuma bisa dibaca yang langganan pake bayar. Kitanya udah jadi paham literasi media, jangan langsung percaya screen capture, eh taunya harus bayar!” gerutu Eko Echo.

“Terus yang kamu sebelin siapa, Ko?” tanya Kamso.

“Yang nge-share link soalnya snob, sama yang punya media. Kalo media main di online tapi pake bayar berarti dia nggak bisa bisnis, Oom! Yang lain bisa gratis kan?”

Lalu Kamso menyimak keluh kesah Eko, yang ditutup dengan, “Emang sih kadang saya dikasih akses temen atau dapat PDF yang katanya ilegal soalnya ngebajak.”

“Terus apa yang kamu dapat di sana, Ko?”

“Tulisan bagus, liputan eksklusif, foto bagus, infografik cakep. Yang media gratis sering nggak ada itu. Gambarnya jelek, sama dengan media lain. Tulisan muter-muter, dipecah jadi dua tulisan lebih, infografik nggak tiap hari, ilustrasi nggak keren. Iklan nutupin layar hape. Saya kan pernah sebentar di pers kampus, di majalah sama online. Tahu dikitlah soal media harus gimana.”

“Media di kampus butuh biaya kan?”

“Lha iyalah tapi nggak banyak. Kita kan nggak digaji, Oom. Bukan maksud saya orang media berita nggak usah digaji lho, Oom.”

“Terus sebaiknya gimana, Ko?”

“Nggak ada lagi media pake bayar. Itu kuno. Yang dibilang senjakala koran tuh udah lewat, media cetak udah tamat. Media online gratis itu solusi, pembaca udah bayar pake kuota, rela kalo layar ditutupin iklan, nrimo kalo tulisan panjang muter-muter bersambung, tapi mestinya bisa kasih konten kayak yang media pake bayar itu. Aneh nggak sih, ada media kecil tapi kayak punya wartawan banyak, kata temen saya di sana mereka nggak punya wartawan di istana, cukup nyebut ‘katanya kepada media’. Malah kadang katanya ngutip dari TV sama streaming.”

“Lho, masalahmu sama media gratis atau media berbayar?”

¬ Gambar praolah: Shutterstock

Media berbayar itu naik harga

Kok media bisa tamat?