Tangkapan layar berita Jawa Pos, tentang pembubaran retret anak-anak dan perusakan rumah di Sukabumi, Jabar, beredar di media sosial. Masalah itu sudah selesai.
Padahal Jawa Pos juga membuat berita susulan bahwa polisi mengusut sejumlah tersangka. Media lain juga mewartakan tindak lanjut polisi, misalnya Kompas.id.
Masa sih salah paham?
Saya sedih dan prihatin atas kejadian itu. Kalau misalnya dibilang kesalahpahaman kok terlalu menyederhanakan masalah. Retret bukan hal baru, sudah lama menjadi bagian dari agenda kegiatan kalangan Kristiani.
Bahwa sebagian masyarakat umum mengenal istilah retret setelah Prabowo Subianto menjadi presiden, sehingga misalnya ada yang mengira kalangan Kristen dan Katolik meniru pemerintah, nah itu salah paham.
Klarifikasi dari Penyelenggara Retret di Cidahu Sukabumi. Itu bukan Rumah Ibadah tapi villa pribadi yang dipakai retret untuk mengisi liburan sekolah. Kalau di umat Islam seperti “Pesantren Kilat”. Apa yang salah dari acara ini? Acara yg positif, kok malah diganggu, diserang,… pic.twitter.com/aaoij2GPVs
— Mohamad Guntur Romli (@GunRomli) June 30, 2025
Yang menjadi soal adalah keberatan sekelompok warga terhadap dua hal. Pertama: ibadah di rumah dan tempat lain. Kedua: ibadah di rumah ibadah, dalam hal ini di gedung gereja. Gereja adalah lembaga, bukan bangunan.
MEREKA TIDAK MERASA BERSALAH APALAGI MINTA MAAF
Mereka cuma bersedia mengganti kerusakan tapi takut dgn proses hukum dan tetap tidak mengizinkan rumah yang dirusak dijadikan tempat ibadahKDM mana KDM? pic.twitter.com/eT2TLsVhMD
— ꦩꦸꦂꦠꦝ (@MurtadhaOne1) June 29, 2025
Ibadah dan rumah ibadah
Tentang ibadah di tempat lain bukan rumah, pernah dilakukan misalnya di depan Istana Kepresidenan oleh jemaat GKI Yasmin Bogor dan HKBP Filadelfia Bekasi beberapa tahun lalu, sebagai protes terhadap penyulitan pembangunan gedung gereja.
Ibadah di rumah tinggal selain yang personal itu ada bermacam-macam, dari doa bersama internal keluarga sampai kolektif bersama tetamu dalam hari raya, saat ada anggota keluarga sebuah rumah meninggal, dan bahkan pertunangan seperti yang saya hadiri pekan lalu.
Di agama lain juga ada ibadah di rumah. Dalam pengertian sederhana, ibadah komunal itu bukan kegiatan profan karena di dalamnya ada doa, khotbah, dan di lingkungan Kristiani ada nyanyian.
Bahwa kegiatan profan dan religius bisa bersua, hal itu tak terhindarkan dalam kehidupan sosial. Misalnya perayaan ulang tahun yang melibatkan doa bersama, serta nasihat yang mengutip kitab suci, untuk melengkapi makan-makan.
Khawatir ada orang murtad
Apakah ibadah di rumah bersama tetamu harus dengan orang yang tinggal sewilayah, misalnya hanya tetangga satu RW? Tentu tidak. Para-para tamu Kebaktian (Kristen) dan misa (Katolik) adalah orang dari gereja yang sama, namun tempat tinggal mereka bisa berjauhan.
Untuk gereja Kristen, karena keragaman denominasi maka ketika tetangga sebelah, sesama Kristen namun beda gereja, mengadakan kebaktian di rumahnya belum tentu orang rumah sebelah ikut bergabung — padahal tak dilarang tuan rumah.
Akan tetapi bukan berarti dalam masyarakat Kristen tak ada kebaktian oikumenis, lintas denominasi, termasuk di rumah tinggal. Misalnya kelompok mahasiswa Kristen di sebuah perguruan tinggi. Begitu pun mahasiswa Katolik, yang berkumpul dan menyelenggarakan ibadah di rumah seorang anggota.
Soal ibadah di rumah ini yang sering dipermasalahkan dengan alasan mengganggu kenyamanan. Misalnya ribut tak terkendali, itu memang mengganggu lingkungan. Tetapi bukankah ibadah di rumah, dengan tetamu tak hanya tetangga, juga berlaku di pemeluk agama lain?
Jangan-jangan masalahnya, “Karena kalian berbeda dari kami.” Namun semoga bukan, “Kami khawatir orang kami ada yang ikut kalian.” Orang berganti keyakinan iman itu tak semudah meninggalkan kegemaran bersepeda untuk berganti ke maraton.
Minoritas harus paham mayoritas
Tentang ibadah dalam gereja khususnya keberadaan gedung gereja tak saya bahas ulang di sini. Sila arsip pertama, kedua, dan ketiga.
Dalam kasus Purwakarta, Jabar, saya juga menyoal sikap pemda maupun sebagian masyarakat Manokwari, Papua Barat, yang menolak masjid. Sedangkan dalam pos gereja memanfaatkan ruko, saya menyebut Gubernur Anies Baswedan mempermudah izin pembangunan gedung gereja.
Dalam soal penolakan terhadap gereja, di sini saya menambahkan satu hal: penolakan kadang disertai kekhawatiran bahwa yang datang ke gereja nanti bukan hanya warga setempat. Lho, bukannya rumah ibadah agama lain juga didatangi warga beda wilayah?
Hmmm… semoga persoalannya bukan, “Jangan meminta kami memahami kalian, justru kalian sebagai minoritas yang harus selalu memahami mayoritas.”
2 Comments
Animisme dinamisme sebagai ajaran kerohanian asli Nusantara Lebih suitable untuk problem masa Kini, nggak perlu ribet tukaran rebutan fungsi bangunan, cukup nyari pohon besar Dan batu besar, done, urusan vertical yg Private bisa taktis, ndak bakal ada yg ngaudit Kalo berdoanya di pohon cabe, lha kalo adanya itu.
Horizontal juga Aman sebagai konsensus bersama, Kalau Sekarang sering dengar ribut2 Dahan keluar pagar Masuk perkarangan orang, ya gak apa2, tuhan bebas, logging Dan penambangan tidak perlu ribut, Sangat berdosa Kalau nekat mengeksplorasi tuhan, biodiversity terjaga, sustainability juga akan on track, extinction age akibat ulah manusia bisa dihindari.
Pr besarnya paling memberi pengertian anak2 Kita jangan waton nguyuhi wit atau watu, itu kurang ajar Sama tuhan, dosanya sundul langit alias sinful. Kayaknya gitu Om, nanti tak nanya cah filsafat, mereka biasanya Pinter tentang probability, sesuai slogan Carlsberg haha
😂😂😂
Saya dulu terkesan serial iklan Carlsberg yang rendah hati: probably the best beer in the world.