Saya yang duduk di halaman, di bawah pohon mangga, selangkah dari kolam ikan yang berdinding kaca, tahu bahwa acara kemarin siang adalah pertunangan. Sebelum pertunangan adalah lamaran. Saya tak beroleh undangan namun tahu karena menjadi unsur rombongan pengiring si cowok. Kedua keluarga adalah orang Jawa.
Ya, jadi kemarin itu di rumah si cewek ada dua acara. Pertama: keluarga cowok melamar si cewek, melalui orang tuanya, untuk dia peristri. Biasa juga disebut meminang. Kedua: pengikatan niat ditempuh dengan bertunangan, ditandai dengan tukar cincin, dalam suatu kebaktian.
Halah, semua orang sudah tahu. Itu lumrah. Baiklah. Namun saya punya sejumlah catatan yang dalam pemahaman orang lain belum tentu sama. Misalnya…
- Ada yang menganggap, lamaran dan pertunangan itu sama, kalau sudah dilamar dan si cewek bersedia berarti otomatis sudah dipertunangkan
- Karena sama, maka tak perlu ada tukar cincin atau cara simbolis lain dengan barang
- Setahu saya, dalam masyarakat Jawa ada tahap sebelum melamar, yakni nembung, artinya meminta — keluarga cowok memberi tahu bahwa anaknya serius, dan akan disusul dengan melamar
- Nembung bersifat informal, tanpa seremoni; sedangkan melamar bersifat formal, disaksikan oleh sanak di luar keluarga inti, sejak pengucapan lamaran secara lisan sampai ikrar pertunangan
- Saat lamaran pula biasanya rencana tanggal bulan tahun pernikahan disepakati kedua keluarga; bahkan kadang sebelum lamaran, soal tanggal sudah dikomunikasikan, sehingga dalam pertunangan agenda itu diumumkan kepada hadirin
- Bukan cita-cita kedua pihak, namun sejauh saya tahu pertunangan bisa batal, artinya tidak jadi lanjut sampai pernikahan, masing-masing menjadi orang bebas
- Merujuk kasus yang saya tahu dan kenal keluarganya, pun diundang, acara pertunangan tersebut — yang dalam perjalanan waktu akhirnya bubar —dipestakan mirip pernikahan, ada yang menyewa gedung juga
Belasan tahun silam di sebuah platform berbasis konten oleh pengguna, yang mayoritas anggotanya perempuan muda, soal lamaran dan pertunangan ini diperdebatkan. Ada yang menganggap sama dan ada yang membedakan.
Dalam silang pendapat, topik bahwa pertunangan bisa batal bukanlah hal yang menyenangkan. Tepatnya: merugikan perempuan, dan hanya buang duit. Maka lebih baik lamar dulu lantas segera nikah karena bercerai tak semudah membatalkan pertunangan.
Di luar platform, perdebatan soal itu disertai opini bahwa pertunangan yang bisa putus itu sama saja dengan uji coba: kalau tak cocok ya bubar. Pihak cewek rugi waktu, kata sebagian dari mereka, karena cari pengganti tak semudah cowok. Alasan ini bisa memperpanjang debat, apakah benar cewek tak semudah cowok dalam mencari pasangan resmi?
Sudah saya sebut di muka, pandangan saya belum tentu sama dengan orang lain. Anda pasti juga punya pendapat.
Tentu saya mendukung pendapat sejumlah mempelai yang menikah saat protokol kesehatan Covid-19 masih membatasi pesta. Nikah di KUA, tanpa resepsi. Sah. Hemat. Apakah jauh hari sebelumnya ada pesta pertunangan atau tidak, dari sisi ekonomi hanya menikah sah itu bagus. Duitnya untuk keperluan pasangan baru, bukan untuk menjamu tetamu.
2 Comments
No offense, Seremona seremoni Ini yg bikin beberapa orang mikir, cost Dan Jadi center of gravity di lingkungan Dan kerabat. Sebuah urusan domestic berdua yang ujug2 meledak merepotkan orang banyak Dan banyak pula yg datang dengan kepentingannya sendiri2, yang memaksa Kita untuk melakukan a b c yang Balik merepotkan kita
Yah, perkawinan adalah urusan dua keluarga, bahkan keluarga besar 🤪