Poster penjual gudeg gongso ini menjamin satu hal kuat: testimoni dari ahli gastronomi William Wirjaatmadja Wongso (78).
Singkat kata, gudeg Bu Tini di Pasar Kranggan, Yogyakarta, itu bonafide. Dalam bahasa Latin: bona fide, dapat dipercaya. Dalam bahasa Jawa: mitayani, dari kata dasar pitaya (= percaya).
Tidak, tidak. Saya tak akan mengulas gudeg ini. Saya bukan ahli mencicipi hidangan. Bagi saya kuliner adalah seni perdapuran, termasuk di rumah sendiri, bukan sekadar seni mengudap, karena di dalamnya ada pemahaman terhadap sejarah dan konsep sebuah masakan berikut cara menikmatinya, termasuk etiketnya. Ada unsur apresiasi.
Ketika melihat poster itu saya cuma membatin apakah sosok Oom William dikenal semua orang yang merasa pencinta kuliner?
Lebih dari satu orang mengatakan kepada saya, orang tak perlu tahu siapa William Wongso. Zaman sudah berbeda. Orang lebih peduli pereviu masakan dalam video di media sosial.
Saya tak meneguhkan maupun menyangkal pendapat itu. Mungkin saya menghindari komentar semacam ini, “Serius amat jadi orang. Santai aja, napa? Justru di jaman banyak informasi, kita nggak usah mikir berat. Ngalir aja.”
Sebelas tahun lalu saya menulis ini dan membuat infografik ini:
Ada sejumlah orang yang mengira “kuliner” itu istilah baru. Televisi, antara lain melalui Bondan Winarno, yang mendemamkan istilah itu sehingga menyergap telinga lebih banyak orang. Sudah lama bahasa Indonesia mengenal kata “kuliner” tetapi melalui media cetak, padahal persebaran dan penyerapan media cetak tak sekuat TV dan media sosial, kan?
(¬ Arsip, 2014)

2 Comments
Sebagai tukang njajan Sak nggon2, saya memilih warung berdasar 2 hal, rame (rame yg umum yg tidak Sampai ngantri, yg malah bikin nggak make sense, mereka ngelih atau ngijolke kupon girik?) Dan Suasana, iyes, Makan Antara 2 itu, Suasana tentunya sembari piknik, Ini tak lepas Dari surfing di gmap di area yg ditutup, Dari Foto Kita bisa memetakan banyak hal, sopo2 wae segment konsumennya, tata letak nggon2 Dan amusement lain macam dolanan bocah, Dan yg Utama, kemproh tidaknya. Saya tak terlalu percaya review medsos atau semacamnya, taste si tukang review Dan lidah saya jelas tidak Sama. Di sini banyak warung jawa, namun sebagai seseorang yg berasal Dari jawa Dan bertahun tahun dijejali masakan jawa, ekspektasi masakam Jawa saya akan berbeda dengan mereka yg mungkin ke Jawa pas bagdan setahun sepisan. Testimoni di gmap Kalau ada Lebih wangun. Ekspektasi Kita berbasis “jajal waelah”. Satu hal penyakit warung itu Kalau rame banyak yg berubah rasa, “ngene wae payu” atau warung yg sudah ganti generasi. Ndak semua sih
Saya sejak dulu gak ikut milis jalan sutra atau apalah dan kurang tertarik reviu kedai di platform yang isinya campur aduk dari baju, politik, sampai kuliner.
Tapi kalau sedang butuh kadang tengok di GMaps atau platform khusus untuk itu. Sayang yang dulu sering saya tengok sudah mati. Apa yang di medsos lain viral dan banyak jempol, di situ bisa beda. Misalnya kebersihan rendah , harga terlalu tinggi, layanan buruk dan seterusnya. Menu dan harga selalu difoto. Tapi nggak ada foto selfie.