Pluk! Bidang kotak kecil dalam bungkusan plastik itu jatuh ke wadah saat istri saya menuangkan kuaci ke wadah agar kantongnya bisa dipakai untuk menampung kulit.
Lempengan tebal lunak itu putih polos. Saya balik ada gambarnya. Saya kira tempelan kulkas. Ternyata bukan. Itu sebuah notes. Saya amati, ada karakter Tahilalats karya Nurfadli Mursyid dari Studio Mind Blowon.
Oh, ternyata kuaci cap Rebo, yang dulu saya kira impor dari RRC, membonuskan notes kecil berjenama Tahilalats, komik kartun Indonesia yang berjaya, merasuki milenial sejak zaman Webtoon. Sudah banyak brands yang bekerja sama dengannya.
Sayang notes kecil ini bukan model tempel seperti sticky notes — kalau produk 3M Scotch namanya Post-it dan menjadi nama benda. Hari gini apakah Anda masih butuh notes, yang juga menuntut ketersediaan bolpoin? Atau jangan-jangan tidak butuh, namun dalam keadaan mendesak akan menyobek gerenjeng dalam bungkus rokok teman untuk Anda tulisi.
8 Comments
Sampai hari ini saya masih selalu bawa notes kecil dan alat tulis ke mana2, tapi karena faktor U sekarang pilihan alat tulisnya lebih condong ke pulpen basah, karena terasa relatif lebih enteng saat dipakai menggores dibanding jenis bolpoin lainnya, sehingga tangan pun nggak gampang pegel.
Tapi gara2 enteng itulah goresan di kertasnya malah jadi sering nggak terkontrol dan alhasil sukar dikenali, mau dibaca lagi pun sulit bahkan oleh penulisnya sendiri :D
Tulisan saya sering tak saya kenali. Komputer dan laptop merusak tulisan tangan saya. Tepi tulisan tangan ibu saya yang berusia 92 masih bagus
Rasanya pernah sekilas melihat tulisan tangan beliau di blog ini. Saya yakin beliau rutin menjaga aktivitas tulis menulis tersebut.
Beliau siapa? 😇
BTW generasi ayah saya dan mungkin ayah Anda Njenengan me ngalami pulpen atau fountain pen. Bisa mengotori kantong baju 😇
Kemarin saya ke Yogya hampir 2 minggu bawa notes dan bolpoin buat jaga-jaga. Aneh rasanya pergi bawa bolpen dalam tas karena sejak pandemi saya jarang ke luar kota.
Dari blog ini saya jadi tahu pulpen di zaman dulu termasuk barang berharga. Pantesan sampai ada buku tentang reparasi pulpen, terbitan era 1960-an, saya nemu di loakan. Takjub saya baca isinya :D
Ya. Sampai medio 1990-an masih ada tukang serpis pulpen di Kwitang, dekat lapak buku yang jadi set pilem AADC itu.
Dahulu kala, selain kacamata dalam kantong, yang jadi incaran copet adalah pulpen.
Pulpen juga identik dengan authors tenar masa lalu karena mereka menulis draf dalam manuscripts. Bahkan ada notes yang menjadikan Hemingway sebagai ilham.