Selasa 29 April 2025 terbit keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, memutasi Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Panglima Kogabwilhan I ke staf khusus KSAD. Kunto digantikan Laksda Hersan, bekas ajudan dari presiden pendahulu Prabowo Subianto.
Kunto itu putra Jenderal (Purn.) Try Sutrisno (90), eks wakil presiden (1993—1998). Adapun Try adalah salah satu dari 103 jenderal, 73 laksamana, 65 marsekal, dan 91 kolonel purnawirawan TNI yang menolak wapres sekarang, wakilnya Bowo. Dalam opini publik, mutasi Kunto adalah akibat sikap politik ayahnya.
Esoknya, Rabu 30 April 2025, muncul ralat, Agus membatalkan mutasi Kunto. Maka ramai lagi opini publik.
Surat keputusan dalam administrasi organisasi memang bisa ditinjau lagi sesuai kebutuhan. Tetapi yang menarik adalah alasan TNI membatalkan mutasi, yang disebut menangguhkan, itu. Apa?
“Setelah Kep. 554 dikeluarkan, ternyata dari rangkaian gerbong yang harus berubah mengikuti alurnya Pak Kunto itu, ada beberapa yang memang belum bisa bergeser saat ini. Sehingga, diputuskanlah untuk meralat atau menangguhkan rangkaian itu, dan dikeluarkanlah Kep 554a,” kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Kristomei Sianturi kepada media.
Baiklah, soal politik menolak wapres kita abaikan. Anggap saja isapan jempol. Tetapi untuk organisasi sebesar TNI, masa sih keputusan menggeser seorang letnan jenderal yang menjabat panglima teritorial tak dipersiapkan matang?
Pikiran usil lain, taruh kata menggeser petinggi bisa mendadak, masa sih urutan gerbong perwira tinggi — bagian dari setengah juta lebih personel, termasuk cadangan — tak terumuskan sejak awal?
Bahwa dalam perjalanan ada yang tak lancar, secara organisatoris bisa diakali dengan percepatan promosi. Pokoknya secara administratif memenuhi syarat. Bahwa ada yang menggerutu karena dipotong di tikungan, itu soal lain.
Lalu? Ada tiga kata kunci menarik dalam kasus ini: ralat, pembatalan, dan penangguhan.
Ralat, atau erratum, berarti kesalahan yang yang diakui lalu diperbaiki. Dalam publikasi ilmiah, bukan dunia tangsi, ada erratum karena kesalahan produksi, yakni jurnal, dan ada pula corrigendum, berupa koreksi tersebab kesalahan penulis.
Pembatalan? Apa pun yang sudah diputuskan kemudian dicabut, tak berlaku lagi.
Kalau penangguhan? Dalam keputusan tentang suatu hal, yang kemudian berubah hanya masa mulai berlakunya, kadang tak jelas ditunda sampai kapan. Jika menyangkut keputusan yang berlingkup luas, penangguhannya disebut moratorium.
Menyangkut Kunto, apa pun kondisi politik Indonesia, suatu saat dia akan dimutasi. Semua jabatan memang begitu.
Lalu soal wapres yang sekarang? Kalau yang bersangkutan menanggapi bisa jadi bumerang. Lebih baik diam. Padahal masalahnya bukan disindir melainkan disebut. Biarlah atasannya yang menanggapi.
¬ Gambar praolah: Arsip Kogabwilhan I
—
—
5 Comments
ooh harus bawa gerbong ya?
kereta apa instansi? :D
Istilah mereka memang begitu. Maksudnya seperti prinsip gudang: satu keluar, yang lainnya maju ke dekat pintu. 😅
Masalah ini sebenarnya rumit dan menimbulkan aneka spekulasi, misalnya korps purnawirawan sedang menaikkan posisi tawar militer untuk menjadi kelompok penekan.
Dari delapan pernyataan, soal kembali ke UUD 1945 asli itu membingungkan. Lha berarti amandemen dibatalkan, lalu nanti pilpres tidak secara langsung tapi melalui perwakilan seperti dulu?
Presiden pendahulu Prabowo Subianto. Siapa, tuh?
Wapres yang sekarang, yang bersangkutan. Sinten, niku?
Ampun dijawab “tengertos” lheeee!
Ini bukan tulisan jurnalistik untuk media berita, jadi boleh begitu 😜
Baiklah….