Kalau tak ada berita pengungkapan dan pengusutan praktik korupsi, kita tak merasa lega, malah curiga ada skenario busuk laknat untuk mengaburkan kasus.
Akan tetapi kalau ada berita pembedahan korupsi, kita cuma kesal sebentar, lalu setelah itu lupa, sambil sebelumnya mengepres residu pesimisme dalam hati.
Itulah yang namanya benci tetapi rindu. Tiada kabar, kita butuh. Tetapi kalau ada kabar, kita cuma bilang, “Halah, paling dihukum ringan.” Para koruptor memahami psikologi masyarakat akibat sikon sulaya itu. Maka mereka terus melaju.

Dari kasus korupsi penanganan sampah di Tangsel, Banten (¬ Kompas.id), apa saja temuan sementara Kejati?
- Kepala Dinas Lingkungan Hidup Wahyunoto Lukman adalah tersangka
- Dia menyusul status Direktur Utama PT Ella Pratama Perkasa (EPP) Syukron Yuliadi Mufti
- Keduanya diduga terlibat korupsi kegiatan jasa layanan pengangkutan dan pengelolaan sampah tahun anggaran 2024
- Nilai kontraknya Rp75,94 miliar, yang Rp50,72 miliar untuk pengangkutan, yang Rp25,21 miliar untuk pengelolaan sampah
- EPP tak punya fasilitas, kapasitas, dan kompetensi mengelola sampah, namun menang tender karena Wahyunoto
- Agar lolos Klasifikasi Baku Lapangan Usaha, mereka bikin subkontraktor fiktif, yakni CV Bank Sampah Induk Rumpintama, dengan direktur operasional Suleman, penjaga kebun pribadi Wahyunoto
- Lokasi pembuangan ilegal itu berada di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor; Desa Gintung dan Desa Jatiwaringin di Kabupaten Tangerang; serta di wilayah Kabupaten Bekasi dekat Cilincing, Jakut
- Warga sekitar sudah lama mengeluhkan bau dan hasil pembakaran
Tak ada yang canggih, bukan? Cuma buang sampah sesukanya, tak perlu ilmu tinggi.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian LH yang dirujuk Kompas.id, timbunan sampah harian di Tangsel 1.022 ton per hari, atau 373.267 ton sepanjang tahun 2024.
Komposisi sampah pada 2024 didominasi sisa makanan 45,23 persen. Kemudian, disusul kayu dan ranting 16,32 persen, plastik 15,27 persen, kertas dan karton 9,13 persen, kain 1,47 persen, logam 0,28 persen, kaca 0,15 persen, serta jenis sampah lainnya 12,15 persen.
Dari mana sumber terbanyak sampah? Rumah tangga: 77,41 persen atau 778,84 ton per hari.
Abaikanlah semua angka barusan. Hanya bikin pusing. Namun yang riil bagi warga di wilayah TPA liar itu adalah sampah sangat mengganggu. Penyebabnya? Lha ya korupsi itu. Anda rela kalau para pelaku kelak cuma dihukum berdasarkan nilai memperkaya diri?
Korupsi bukan cuma masalah orang ambil untung dengan cara melanggar hukum, etika, dan moral. Ini soal ulah penjahat berbaju birokrat mengacaukan kehidupan bersama karena tak ada standar yang ditegakkan. Semua hal dikompromikan. Kepentingan orang banyak didepak ke bawah keset.
Selamat menjalani kehidupan di negeri semprul sontoloyo nan religius dan menyebut diri bangsa yang berbudaya. Bangsa, tanpa “t”. Kalau ditambahi “t” cuma menjadi “bangtsa”, “tbangsa”, dan “bangsta” yang mirip gangsta. Suku kata “ts” Itu merepotkan pengucapan seperti menyebut “tsunami”, “tsar”, dan komponis agung “mo-tsart”.
¬ Arsip:
- Soal larangan menyampah, kita menganggapnya lumrah: Setiap kali melihat sampah tak tertangani, pembayar pajak mestinya bisa menggerakkan aparat.
- Kerugian negara mestinya dihitung sebagai nilai korupsi:Kerugian yang punya duit adalah satu hal. Angka tilapan adalah hal lain.
- Halah, mafia peradilan: Jadi kita harus percaya sang pengadil, wakil Tuhan, yang mengawali putusan dengan membawa Tuhan?
2 Comments
Sebelum dipenjara di LP, layak dipenjara di dekat tempat sampah, sebulan atau seminggu saja dah, biar mendapat pencerahan gitu…
Husss. Jangan.
Masa cuma sebulan? Lebih dong.