Spanduk larangan membuang sampah di tikungan gang ini mungkin juga ada di lingkungan Anda. Saya melihatnya di kampung dekat rumah saya. Misalnya pun bukan di lingkungan Anda, pasti di area yang sering Anda lalui juga ada. Kita menanggap larangan itu lumrah. Memang sudah seharusnya.
Sebenarnya ada hal menyedihkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara — maaf saya sloganistis — dalam soal sampah. Kenapa?
Tanpa spanduk RT yang merujuk UU pun mestinya semua orang tak menyampah sembarangan. Kalau ada yang melakukan, warga bisa menelepon satpol PP atau bahkan polisi mestinya.
Akan tetapi, misalnya Anda menelepon aparat pasti akan dibilang, “Halah soal sepele sampah aja nggak bisa ngatasi sendiri.” Lho, kalau semua bisa kita bereskan buat apa membayar pajak untuk menggaji aparat dan pejabat? Beli pulsa saja kena pajak. Bayar listrik juga.
Sampah adalah soal sepele? Lihat saja kasus TPA, sampah pasar di jalan, truk sampah mangkrak, dan seterusnya di sejumlah kota. Kenapa bisa terjadi akumulasi seperti di Yogyakarta? Karena sejak awal urusan sampah dianggap sepele. Membangun gedung bagus dan taman ramah Instagram dianggap lebih bermartabat.
Cara berpikir pemkot dan pemkab sering aneh. Warga dianjurkan tak membuang sampah sembarangan namun tempat sampah tak memadai, yang rusak juga dibiarkan. Untuk membuang bungkus permen dan tisu saja Anda kerepotan karena dipaksa berjalan kaki jauh. Mungkin maksud pengelola kota supaya warga rajin berolahraga.
Itulah pentingnya kepala daerah yang punya visi dan misi genah dan lebih penting lagi dapat mewujudkannya. Buat apa rajin pasang spanduk dan baliho bergambar dirinya dalam busana dinas, juga rajin memutakhirkan aktivitas diri di Instagram, kalau tak pernah sidak soal sampah?
Sidak itu bukan cuma ke kantor-kantor pelayanan pemerintah dan fasilitas publik tetapi juga mengamati soal kebersihan sepanjang berangkat dan pulang kerja. Pemimpin kreatif tak menempuh rute yang sama setiap hari, tanpa sibuk menelepon dalam mobil. Tugas ajudan adalah mencatat ucapan si bos setelah melihat masalah di jalan.
Bukankah ada pos pengaduan melalui telepon dan media sosial? Yang dibutuhkan warga selain jawaban “terima kasih” dan “akan ditindaklanjuti pihak terkait” adalah eksekusi, bukti. Kalau bisa hari ini lapor, kemarin sudah beres. Seperti freelancer dapat order dari klien umpak-umpakan: hari ini pesan, kemarin jadi.
Tetapi kalau wali kota dan bupati bikin penghargaan untuk warga yang paling sering lapor pasti akan dikutuk anak buah, “Sampean nggak bakalan selamat, cuma bisa nambahin kerjaan bawahan, bukan nambahin gaji.”
Bagaimana kalau lapor ke siapa itu? Coba saja. Semoga sukses.