Oom itu paman dalam penulisan pra-Eyd dan pra-KBBI. Yang baku adalah om,tapi saya kerap menuliskannya oom.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

warung Bu Oom di Jalan Jatinegara, Kebonwaru, Bandung, Jabar

Saya sering melanggar pedoman EyD. Misalnya, dalam blog menuliskan “oom”, tetapi untuk menulis di tempat lain saya menggunakan “om” agar tak merepotkan editor.

Mengapa saya ber-oom, ya karena suka saja. Serupa bloger Yahya Kurniawan menyebut diri: Oom Yahya.

Om dari oom bahasa Belanda. O dibaca seperti dalam soto. Lalu bahasa Indonesia versi KBBI menyerapnya menjadi “om”.

Ingatan tentang oom dan om itu muncul ketika dari ketinggian saya membaca nama warung Bu Oom di Jalan Jatinegara, Kebonwaru, Bandung, Jabar. Kalau membacanya dalam versi saya, yang tak sesuai KBBI, akan terlafalkan “bu om”.

Maka misalnya terhadap si ibu ada yang menyapanya sebagai tante jadilah “tante om”. Bikin bingung. Emangnya beliau istri Oom Om, yang jika dilafalkan menjadi “om om”?

Perihal om atau oom, dalam bahasa Jawa bisa pakdhé (bapak gedhé; KBBI: pakde), bisa paklik (bapak cilik; KBBI: paklik).

Begitulah, saya masih terus belajar bahasa Indonesia. Maka terlihat dalam blog ini, kadang ada “apapun” dan “apa pun”. Untuk kata kedua, “pun” setara dengan “juga”.

warung Bu Oom di Jalan Jatinegara, Kebonwaru, Bandung, Jabar

2 thoughts on “Persoalan ejaan: Tante Oom istrinya Om Oom atau Oom Oom?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *