Kematian Munir itu fakta, tapi siapa pembunuhnya dibiarkan tertutup tabir selama dua presiden.
↻ Lama baca 2 menit ↬

Seno Gumira: Aku Pembunuh Munir

“Oalah, Munir, Munir, maksud hati melanjutkan kuliah di Utrecht, Belanda, dengan tesis tentang penghilangan paksa sebagai pilihan politik rezim militer, dari tahun 1965 sampai 1998, kok malah hilang sendiri.”

Kurang ajar betul senandika si aku dalam cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Aku Pembunuh Munir“, yang pernah diterbitkan 29 Desember 2013, kemudian Kompas menerbitkan ulang hari ini (21/9/2023).

Kurang ajar betul, si aku bisa santai menjaga jarak: kok malah hilang sendiri. Seperti menertawakan paradoks maut yang melibatkan dirinya. Begitu berjaraknya sehingga dalam kalimat lain bisa berupa kok malah dia sendiri yang hilang.

Kurang ajar, itu kata yang lunak untuk mewakili pelbagai umpatan yang menjadi lema kamus resmi terbitan badan negara dengan biaya dari rakyat.

Halah Pollycarpus

Redaksi menyebutkan dalam catatan penutup, “Cerpen ini kembali dimuat untuk mengingat kematian pejuang HAM Munir Said Thalib.”

Sejarah mencatat, Munir meninggal dalam perjalanan ke Negeri Belanda, 7 September 2004, dalam usia hampir 39 tahun. Risky Summerbee & The Honeythief mengabadikannya dalam lagu “Flight to Amsterdam” (The Place I Wanna Go, 2008).

Hey hello mister
Have we met before

In a band, in a disco or a mystery tour
Hey hello mister hear some stuff we play
It ain’t no good for you, well what can I say

I’m in the basement, what is your department
I feel like lucy in the sky or is it the food I tried

Lalu kita sama-sama merasakan bahwa perjuangan ingatan melawan lupa itu membuat penat, sementara benak kita saban hari terisi aneka hal sehingga sesak. Kita membela diri tiada niat melupakan tetapi perjalanan waktu menggerus selapis demi selapis residu memori.

Oh Muchdi PR!

Di republik dengan kesadaran arsip yang payah ini, jangankan dokumen karena orang pun bisa dihilangkan. Bukan dokumen rapat koperasi RW melainkan dokumen yang menyangkut kematian seseorang yang dibunuh secara terencana dalam kelindan urusan dengan negara.

Lalu ketika mendengar kata keadilan dan kebenaran maka yang terbayang bisa apa saja. Mungkin seperti memegang lembaran plastik bergelembung cetat-cetit yang semua tonjolannya telah tuntas kita letuskan, sebagai obat gundah kecewa karena isi paket pecah belah yang tersubal kawul kertas rajangan hanya berupa karaf kaca bening. Jernih, tetapi tak menampakkan apapun karena tanpa isi. Hanya ada stiker kode batang di pantat karaf.

Nasib dokumen TPF kematian Munir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *