Berita yang tak dibaca sampai rampung karena pembaca sudah paham itu cara kuno. Nggak sip. Coba tanya Ndoro Kakung.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Jurnalisme Indonesia mau ke mana?

“Jurnalisme tuh mau ke mana, ya?” tanya Melati Tititeliti.

“Tanya aja, tiketnya jurusan mana,” jawab Kamso.

Lantas Melati menumpahkan kekecewaan soal praktik jurnalistik. Panjang, banyak, lengkap, dengan contoh. Jika disimpulkan, kemasygulan bekas wartawati itu adalah banyak jurnalis menulis semaunya. Judul banyak berupa tanya, atau tajuk dengan awalan “begini…”, tulisan panjang empat kali next, halaman pertama berupa labirin.

Kamso hanya menyimak. Melati terus menuangkan kegelisahan. Akhirnya dia tutup, “Capek aku cerita ini. Apa karena aku orang masa lalu ya, gagal paham zaman? Gagap memahami informasi abad digital? Menurut Mas Kam?”

“Zaman terus berjalan. Jurnalisme juga. Ini era ketika jurnalis dan pembaca setara. Dulu di media kamu sebelum era internet ada perpustakaan, ensiklopedia yang dijejer semeter lebih, banyak majalah luar negeri, langganan teleks dari kantor berita. Jurnalis bisa mbagusi karena seolah duluan tau. Sekarang, info yang diterima pembaca dan redaksi sama, kecuali hasil liputan dan wawancara khusus. Tugas media cuma memberikan perspektif, menghadirkan konteks, dan mengarahkan proyeksi masalah.”

“Bukan soal itu, Mas!” sergah Melati.

“Apa dong?”

“Kenapa bikin tulisan genah aja nggak bisa? Urusan simpel dituliskan berbelit?”

“Nggak tau.”

“Mas tahu Ndoro Kakung, kan? Belakangan dia nulis dengan bahan konten robotik ChatGPT. Dia kayak ngécé para jurnalis pembuat konten mbulet, bahwa robot aja bisa nulis linier, jelas, informatif. Intinya, robot bisa nulis efektif.”

“Oh, Ndoro Kangkung? Ya, aku pernah kenalan. Konon dia hobi hidroponik.”

“Mungkin dia mau kasih contoh, kelak kalo robot bisa writing with style, setidaknya memperkaya tulisan linier, maka para penulis konten bertele-tele itu akan kerepotan. Kalo cuma pakai tulisan robotik, semua media bisa sama.”

“Jangan sinis dan pesimistis gitulah.”

So?”

“Sebenarnya mereka bisa nulis genah. Tapi semua ikut rezim pengemasan informasi yang mengharuskan tulisan itu lama dibaca, jangan sampai cukup dari judul dan excerpt plus lead sebagai pembuka tiga paragraf di depan, pembaca langsung paham. Ini menyangkut trafik, analytics, dan iklan.”

“Pasti habis ini Mas Kam mau bilang kalo pembaca nggak protes, kan?”

Menempatkan diri sebagai anak: “Ini adalah…”

5 thoughts on “Jurnalisme mau ke mana?

  1. Saya nggak sependapat dengan Om Kamso tentang “mereka bisa nulis genah”.

    Ada memang yang bisa nulis genah, lalu ikut rezim pengemasan informasi dst itu tadi. Tapi menurut saya banyak yang tidak bisa nulis genah karena mereka fresh graduate ketika melamar, lantas saat diterima mereka mengikuti pelatihan yang waktunya terlalu singkat, kemudian ketika bekerja mereka tidak dievaluasi dengan baik karena atasan mereka ada dalam rezim pengemasan informasi dst tersebut.

    1. Iya sih ada yang tidak mengalami pematangan profesi krn sistem internal sibuk dgn target volume berita harian. Urusan diklat dianggap mewah jika ada tim khusus, termasuk melibatkan veteran. Di sisi lain, mungkin, ombudsman hanya bergerak kalo ada aduan, bukan melakukan evaluasi spt di media yang genah.

      Salah satu hasil yang gak mateng ya dari proses liputan sampai penulisan.
      Masa mau wawancara cuma bilang mau nanya atau konfirmasi.

      Blm lagi kemalasan sebagian awak mengulik data dan rujukan sahih krn mengandalkan keterangan lisan narasumber.

      Hasil lain ya lihat saja konten kreatif media tertentu, bisa kalah dari blog personal

      1. Di media tertentu ada status reporter untuk para pekerjanya padahal mereka sama sekali tidak pernah ke lapangan (termasuk wawancara) karena tugas mereka adalah membuat konten kreatif. Dahulu saya sering meledek dengan menyebut mereka sebagai “reporter ruangan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *