Udara kotor, peristilahan, dan media sosial

Daripada redaksi bertengkar, dan pembaca ogah baca, sebaiknya media mengikuti bahasa medsos saja, karena terbukti hidup. Setuju?

▒ Lama baca 2 menit

Kata terpajan di media berita

Kualitas udara Jabodetabek yang buruk terus menjadi berita. Dalam salah satu artikel, Kompas menggunakan kata “terpajan”. Istilah nan aneh? Mungkin, terutama bagi yang belum pernah mendengar kata itu.

Apakah media untuk kelas menengah memang genit dalam berbahasa? Barangkali, terutama di mata orang sinis yang malas belajar bahasa Indonesia namun bersemangat dalam belajar bahasa Inggris.

Setahu saya “pajan”, “pajanan”, dan “terpajan” bukan istilah baru. Pada awal 1980-an istilah itu sudah terdengar, bersamaan dengan “dampak” (Inggris: impact) dan “rentan” (Inggris: prone). Ketiga kata itu menjadi judul paragraf dalam artikel yang sama di Kompas.

Ilmu komunikasi dan kedokteran

Kata terpajan di media berita

Pengguna istilah “pajanan” abad lalu antara lain lingkungan ilmu komunikasi. Pada awal kehadiran Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI), istilah “pajanan media” sebagai padanan “media exposure” sudah digunakan. Namun saya malas mencari tahu di Jurnal ISKI mulai kapankah ada artikel mencantumkan istilah “pajanan” dan “terpajan”.

Dalam bahasa media berita, saya mengandaikan (tanpa riset) kata “terpapar” lebih dikenal ketimbang “terpajan”. Ada terpapar polutan, ada terpapar radikalisme. Istilah “terpapar” pun, seingat saya, mulai luas disebut sejak awal 2000-an. Kedua kata itu bersinonim.

Apakah istilah “terpajan” itu hidup, dalam arti juga digunakan di luar ilmu komunikasi?

Kata terpajan di rumah sakit

Saya temukan panduan untuk tenaga medis di RSUD Purworejo, Jateng, perihal prosedur menangani kasus petugas terpajan jarum suntik. Itu dokumen 2018, sebelum Covid-19.

Adapun dalam jurnal Majalah Kedokteran Bandung (FK Unpad), terdapat artikel tentang keterpajanan tikus terhadap suatu unsur logam, dari laporan riset 2015. “Terpajan plumbum” berpadanan dengan “lead-exposed“. Plumbum (Pb) adalah timbal.

Kata terpajan dalam jurnal kedokteran

Persoalan bahasa media daring

Bagaimana dengan penggunaan bahasa yang kurang dikenali pembaca media berita? Saya tak akan mengulangi arsip pos dalam blog ini ihwal bahasa media yang ramah pembaca (2020).

Memang ada yang terlewat saya masukkan di sana. Soal apa? Pada era media cetak, gaya bahasa koran Kompas, majalah Tempo, Koran Tempo, Republika, Swa, dan Bisnis Indonesia, itu berbeda dari Poskota, Harian Terbit, Lampu Merah, Warta Kota dan sejumlah koran dalam grup Tribun. Hal ini menyangkut pilihan sadar karena redaksi paham siapa pembacanya.

Akan tetapi dalam era media daring, perbedaan gaya bahasa secara sepintas sulit dikenali. Mau contoh komedikal? Bahasa Kompas.id dan Kompas.com berbeda, demikian pula ragam kontennya; namun gaya bahasa Kompas.com tak berbeda dari gaya media daring lain yang tak dirancang sebagai ekstensi versi cetak.

Apakah karena media daring, yang membalap waktu secara lebih lekas, tak seketat media cetak yang memiliki editor naskah akhir atau polisi bahasa? Saya tak dapat menjawab.

Soal lain: sebetulnya siapa pembaca sasaran, dan apa yang terbukti di pasar, pada media daring lebih mudah dikenali oleh penerbit dan redaksi. Sistem informasi digital di tangan periset dapat menyajikan data demografis, geografis, sampai psikografis pembaca.

Masalah bahasa media ini memang tak pernah habis. Seorang petinggi perusahaan media daring yang menyasar kelas menengah pernah memprotes redaksi karena menggunakan istilah “munajat” dalam judul artikel seputar seni. Alasannya: dia belum pernah mendengar kata itu, maka redaksi jangan menggunakan istilah tak lazim.

Seorang editor, yang tak menangani artikel tersebut, santai menjawab, “Dua belas tahun lalu Ahmad Dhani udah bikin lagu ‘Munajat Cinta’, nggak ada fans yang bingung.”

Mari, merujuk bahasa medsos saja?

Jika ada orang yang berpengandaian bahwa kosakata pembaca tamatan S1 itu memadai, bisa jadi dia harus menimbang ulang: tamatan S1 dari generasi kapan?

Kaum boomers mengalami pilihan media terbatas berupa bacaan, tanpa TV tanpa internet, dan banyak yang mengasup buku terbitan sebelum mereka lahir. Atau setidaknya buku dan majalah serta koran yang ditulis oleh orang yang setua atau malah lebih tua orangtua mereka. Maka perbendaharaan kata — terutama kata yang arkais — di benak mereka lebih kaya, dengan risiko sosial kini akan ditertawakan karena “omongannya jadul banget, khas orang lawas”.

Saya menduga, generasi selanjutnya, apalagi “genset” (generasi Z), tak mengalami kemewahan ortu dan kakek nenek mereka dalam, nah ini dia… eksposur atau pajanan kosakata Indonesia. Mereka cenderung lebih sering membaca teks dari kaum segenerasi karena ragam konten amat lewah padahal semenit tetap 60 detik.

Oh kalau begitu, supaya redaksi media daring tak mempertengkarkan pasal kebahasaan, sebaiknya merujuk istilah yang laku di media sosial?

Ehm, medsos yang mana? Yang berupa teks perorangan di Facebook dan X (Twitter) ataukah video di FB, Instagram, YouTube, dan TikTok? Gaya bahasa tulisan dan lisan, meskipun sama-sama santai, itu berbeda.

Kenapa sih rewel soal prosesi?

Lansir-melansir kesalahkaprahan

Sengkarut kegenitan bahasa jurnalistik Kompas dan Tempo

4 Comments

tikabanget Selasa 19 September 2023 ~ 05.33 Reply

Pamaaaaaannnnnnn….
Rinduuuuu…

Tapi iya juga ya.
Sejak hanya membaca medsos yang dipenuhi kaum genset, referensi kataku hanya di area kekinian.
Aku tidak lagi mencari sinonim untuk membedah alternatif kekayaan kata.
Ah. Aku sudah tua.

Pemilik Blog Selasa 19 September 2023 ~ 22.46 Reply

Hoiiiiii!
Kaget aku Tik.
Wah sekarang sudah jadi ibu dari dua putri yang makin besar.
Semoga kabar baik adanya.

Alangkah cepatnya waktu melesat. Rasanya baru beberapa tahun lalu kamu nikah dan aku datang. Ternyata sudah sepuluh tahun lebih.

Miss you too.
Terakhir kita keeping 2016 di tangga teras kantor Tanahabang. Adapun Wicak segala.

🙏💐

junianto Senin 18 September 2023 ~ 21.51 Reply

Terpajan, pajanan, pajan, dan seterusnya, baru saya ketahui dari konten Paman ini. Saya puluhan tahun jadi “orang media”, tapi ternyata banyak kata-kata baku yang saya tidak tahu, dan baru tahu sesudah pensiun empat tahun silam. Sebagian di antaranya saya tahu dari konten-konten Gombal — sekadar menyebut contoh : jenama, arkais, dan ambalan.

Contoh lain, kata birai baru saya ketahui sekitar dua pekan lalu, dari teks terjemahan film serial detektif di televisi berbayar. Semula saya kira salah ketik dari kata tirai, tapi saat saya cek kamus memang maksudnya birai yang berarti lis/bingkai/tepi/pagar atau dinding rendah di tepi jembatan (tangga) atau di pinggir perahu.

Pemilik Blog Selasa 19 September 2023 ~ 22.42 Reply

Bagi saya juga banyak kata yang baru saya kenali kok.

Kalau jenaka akhirnya dipakai sejumlah media dan penulisan kan?

Dulu saya tahu kata itu dari media Malaysia. Begitu pula rasuah.
🙏

Tinggalkan Balasan