Jika gaji kecil tapi diminta kreatif optimal, dan berkembang pol tentu berat. Begitukah dosen, guru, dan wartawan?
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Saya membayangkan jadi anak SD di kota yang kepemilikan ponselnya sudah merata, terutama setelah harus belajar jarak jauh karena pandemi. Misalnya saya kelas empat atau lima, alangkah senangnya ditugasi Pak Guru atau Bu Guru mengamati pekerjaan di pasar dan warung atau bengkel sepeda.

Untuk kemudahan, saya akan memilih warung dekat rumah, langganan ibu saya dan pekerja rumah tangga (PRT) di rumah. Misalnya memilih pemilik warung yang untuk mengupas dan menguliti kelapa dia lakukan sendiri.

Andaikata tugasnya membuat strip foto (seperti komik dengan bahan foto) dan video ringkas ala YouTube Shorts dan TikTok saya juga siap. Kenapa? Untuk video banyaklah contohnya.

Tugas macam itu akan mengharuskan saya mengamati dan bertanya. Dari pengamatan, saya akan tahu bahwa mengupas sabut dan menyingkirkan batok dari kelapa tua butuh waktu dua setengah menit. Dari bertanya, saya akan tahu bahwa harga sebutir kelapa kupas adalah Rp8.000.

Pembeli kelapa punya dua pilihan, mengabaikan air kelapa atau membawa pulang. Kalau kelapanya tak terlalu tua, airnya cocok untuk memasak tempe dan tahu bacem.

Untuk memarut kelapa, pembeli bisa melakukannya sendiri di rumah karena lebih bersih namun dapat juga minta tolong diparutkan kepada pemilik warung secara percuma.

Tetapi berapa banyak guru yang bersedia memberikan penugasan macam itu, padahal semua muridnya punya ponsel berkamera?

Sabtu kemarin seorang bapak, dosen teknik sipil, mengatakan kepada saya, “Halah gajinya kecil kok guru diminta macem-macem untuk kreatif. Wartawan juga kan, Oom?”

Menempatkan diri sebagai anak: “Ini adalah…”

Notes mungil untuk belajar animasi gaya jadul

Mengenal dunia jauh dan dekat

Gaji dosen setara UMP, bagaimana mau beli buku?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *