Ponsel cerdas membuat kita merasa bertambah cerdas, lebih berwawasan. Tapi bagaimana dengan anak yang sedang bertumbuh?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Segara belajar dari lingkungan

Foto anak bernama Segara ini sudah agak lama, saya dapatkan Februari lalu, dari sebuah grup WhatsApp eks sejawat. Begitu melihat saya langsung terkesan.

Segara adalah cucu kawan saya, seorang antropolog yang beristrikan seorang penekun wastra. Sang Aki yang membagikan foto di atas. Saya sudah meminta izin untuk memublikasikan foto Segara.

Mengamati alam sekitar, jika perlu mendekat daun tanaman dan serangga, apakah setiap anak beroleh kesempatan itu?

Memang dunia digital makin memperkaya pengetahuan. Dengan ponsel cerdas hampir semuanya terjawab. Setelah memotret daun dan bunga, ponsel akan mengidentifikasi nama tumbuhan itu berikut nama Latinnya. Beberapa kali saya posting temuan botanis itu.

Bandingkan dengan era kertas: keluarga tanpa perpustakaan, padahal sekolah tak menyediakannya dengan memadai, berpeluang memperlebar kesenjangan pengetahuan.

Namun bagi saya, pengalaman langsung, paparan gawai digital, dan bacaan berupa kertas itu saling melengkapi.

Pengalaman langsung akan memberi kesempatan pada anak untuk mengamati apa saja yang menarik baginya. Sejauh saya tahu, keluarga Segara, yakni orangtua dan aki beserta nininya, akrab dengan dunia luar ruang.

Saya mencoba mengingat pengalaman apa yang pernah saya berikan untuk kedua putri saya saat mereka balita. Si sulung mengalami di sekitar kompleks masih ada sawah dan kebun, saya dapat memperkenalkan pohon pisang di pinggir empang dan mengajaknya melihat orang membuat batu bata.

Kebetulan si sulung suka jalan-jalan, tak mudah kecapaian. Si bungsu tumbuh ketika sawah dan kebun sudah menjadi perumahan. Untunglah saat mereka berlibur ke Cimahi, Jabar, sempat mengalami bermain di dangau dan pematang sawah yang kemudian menjadi perumahan Setra Duta.

Tentu dunia luar tak mesti berarti sawah, ladang, lapangan, dan jalan kampung. Dunia luar adalah hamparan yang kita dapatkan setelah membuka pintu rumah dan pagar, apalagi jika kemudian kita pergi.

Dengan jalan kaki banyak hal dapat dilihat bila perlu berhenti, misalnya untuk memotret. Demikian pula bersepeda.

Amatilah, hasil jepretan orang yang sering jalan kaki dan naik mobil sebagai penumpang pasti berbeda. Termasuk dalam jalan kaki adalah dari halte atau stasiun ke tujuan terdekat. Adapun sebagai penumpang adalah kerap bepergian dengan mobil, sejak naik dari depan carport hingga membuka pintu di tujuan.

Tetapi kini masihkah Anda, dan keluarga Anda, saat tidak menyetir tetap mengamati apa saja selama perjalanan?

Dulu sebelum ada smartphone, saat bepergian saya membiarkan anak saya membaca dan mengeja nama warung, gerbang perumahan, bahkan tulisan pada punggung pemotor. Lalu kami membahasnya.

Jujur saja ponsel cerdas telah menyita waktu kita. Saya beruntung, mata saya tak tahan membaca layar maupun kertas di dalam kendaraan yang bergerak, apalagi kalau bergeronjal. Di dalam mobil yang bergetar keras saja saya sulit membaca. Apalagi kalau teksnya kecil.

Dengan kekurangan daya tahan mata itu saya, saat menjadi penumpang, malah beroleh kesempatan lebih banyak untuk mengamati sekitar.

Jangankan mobil sudah bergerak jauh. Baru akan meninggalkan tempat saja hanya sopir yang berkonsentrasi memperhatikan sekitar saat memundurkan mobil. Para penumpang sudah langsung menatap layar ponsel. Termasuk yang duduk di belakang, jika mobilnya van, yang mestinya bisa melihat motor melaju kencang, tak memedulikan mobil mundur.

Ponsel telah mengubah cara kita menghayati kesadaran. Kita tahu apa saja di belahan dunia jauh tetapi abai sekitar. Saat menyeberang jalan saya pernah menyambar tangan seorang perempuan dan menariknya karena ada motor hampir menabrak dia. Si Mbak menyeberang sambil asyik berponselria.

Kini banyak anak akrab dengan ponsel dan kurang peduli sekitar. Interupsi saat mereka bermain gim bisa membuat mereka marah.

Saya pernah menegur seorang ibu yang saya lungsuri ponsel karena dia membiarkan anak lelakinya, kelas dua SD, berjalan sambil memainkan ponsel lungsuran itu, lalu memasuki rumah saya tanpa permisi kepada saya yang duduk di teras. “Emang suka gitu Pak kalo dia pegang hape, hihihi…” kata si emak.

¬ Tulisan ini sudah saya mulai April silam, lalu terhenti karena terus terinterupsi, sehingga mood dan isi benak terganggu. Setengah tulisan saya teruskan, juga di ponsel, siang ini, mengalir begitu saja.

¬ Foto: Seto Wardhana. Pemuatan foto di blog ini sudah seizin keluarga.

Persoalan kewargaan digital pada anak

Anggrek merpati dalam jejak peta ingatan dan speech delay

Menempatkan diri sebagai anak: “Ini adalah…”

4 thoughts on “Mengenal dunia jauh dan dekat

    1. Maka jika memungkinkan, pakai dua gawai. Satu ponsel default, satu ponsel lagi atau tablet yang tak terhibur ke media sosial maupun lokapasar, hanya untuk baca, nonton film, dan dengerin musik.

      Kalau hanya satu ponsel untuk aneka hal, gangguan distraktif sangat tinggi. Begitulah juga godaan untuk sering menengok.

  1. Sihir ponsel pintar memang luar biasa, tidak hanya untuk anak-anak melainkan semua kalangan — termasuk saya. Kadang saat membawa ponsel pintar saya malah jadi bodoh, misalnya jadi mengabaikan lawan bicara (bisa lebih dari satu orang) karena lebih asyik dengan ponsel, dan hal-hal bodoh lainnya.

    Oh iya tadi saya sempat mengira Paman salah menulis sastra dengan wastra. Saya cek kamus — dan baru tahu sekarang — ternyata ada wastra.

    1. Dua orang atau lebih yang sedang ngobrol dan masing-masing membalikkan ponsel di meja, atau menyimpannya dalam kantong, seberapa sering kita lihat?

      Tentang wastra, bbrp media menggunakan kata itu saat membahas fesyen yang menyangkut batik, tenun, dan sutra.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *