Kemarin saya beroleh buah tangan dari Kudus, Jateng, berupa jenang dan dodol. Ketika menatap tanggal kedaluwarsa yang masih aman, saya pun teringat kasus penghapusan tanggal kedaluwarsa camilan yang dijual kepada anak TK dan SD di Mataram, Lombok, NTB, awal Juni (¬ Detik).
Jahat nian pelakunya jika kelak terbukti di pengadilan. Dia memborong makanan hampir kedaluwarsa dari sebuah gudang, lalu memakai bensin dia menghapus tanggal, dan menjualnya. Bagaimana jika ada anak keracunan sekaligus bertemu penyakit lain sehingga mengancam nyawa?
Belum jelas, pasal apa yang dipakai polisi untuk menjerat tersangka.
Sebelumnya dalam kasus serupa di Kobek, Jabar, yakni penjualan makanan kedaluwarsa, polisi menerapkan Pasal 62 ayat 1 Jo Pasal 8 dan 9 UU Perlindungan Konsumen subsider Pasal 143 juncto Pasal 99 UU Pangan (¬ Niaga Asia, 2022). Ancaman hukuman maksimum dari UU Pangan adalah penjara dua tahun atau denda Rp2 miliar.
Namun dalam UU Perlindungan Konsumen ada celah perdamaian produsen dan konsumen (Pasal 45 ayat 2). Saya membayangkan sekelompok orang berpiknik membawa bekal camilan yang dipesan dari kios Korting Jaya. Ternyata makanan tersebut kedaluwarsa. Di luar peradilan, UU tersebut memberi peluang berdamai bagi kedua pihak (¬ Hukumonline, 2014).
Bagaimana jika bekal piknik, berupa nasi uduk, dipesan dari Mpok Siape ternyata bikin para pelahap keracunan?
Dalam konsultasi pengusaha katering yang makanannya bikin konsumen keracunan, perlu pembuktian di pengadilan. Payung hukumnya adalah UU Perlindungan Konsumen (¬ Hukumonline, 2022).