↻ Lama baca < 1 menit ↬

Mahal: Film untuk memotret, wakil dari dunia lama

Saya tak tahu, dari seratus pembuat foto Lebaran kali ini berapakah yang menggunakan film. Kalau angka seratus masih sedikit, naikkan saja menjadi dua ratus atau malah lima ratus.

Baiklah, film memang dunia lama. Saya mendapatinya tadi pagi di sebuah kardus buku, bukan milik saya, saat saya menyapu untuk mengepel. Film ini sisa pemotretan lamaran calon mempelai, Maret lalu.

Mahal: Film untuk memotret, wakil dari dunia lama

Harga film Kodak Gold ASA 200 berisi 36 bingkai β€” belum kedaluwarsa β€” saat ini sekitar Rp100.000. Jika membeli sepuluh rol butuh Rp1 juta. Belum lagi biaya proses dan cetak entah berapa sekarang.

Mahal? Murah? Tergantung preferensi dan selera. Hard copy hasil cetakan kamera digital maupun kamera analog, bagi orang seperti saya, sama saja.

Tetapi di kelas fotografi beneran, film masih dipakai. Orang diajari proses. Termasuk proses yang dulu disebut fotografi instan macam Polaroid dan Fujiflm Instax.

Di luar semua urusan itu ada satu hal yang baru saya sadari dari kemasan film ini: tak ada teks bahasa Indonesia. Apakah zaman kejayaan analog ada teks Indonesia? Saya lupa. Kayaknya sih nggak.