Jangan beli makanan berlebihan, lalu tak dapat menghabiskan, bukanlah nasihat usang. SDA terkuras, padahal banyak yang susah makan.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Jangan belanja makanan berlebihan melebihi kebutuhan

“Akunya yang salah mungkin ya, Mas. Sejak dulu membiarkan karena ada duit,” kata Rudi Gayam saat mampir dalam rangka mencoba sepeda listrik.

Kepada Kamso, Rudi mengeluhkan anak-anaknya yang suka beli makanan berlebihan, apalagi jika dibayari, tapi tidak bisa menghabiskan. Itu berlaku saat mengudap di kedai maupun memesan antaran, apalagi jika ada diskon.

Celakanya tidak semua sisa, bukan kelebihan — dari makanan berlebih, seperti orang Jawa membedakan sisa dan turah — bisa diberikan kepada orang. Bisa karena waktu, misalnya terlalu malam, maupun tingkat kesegaran.

“Lapar mata mungkin,” Kamso berkokeu.

“Kayaknya, Mas. Belanja bareng di supermarket juga gitu karena ayahnya yang bayar. Aku karena dulu kerja di luar kota, kalo pulang ya manjain keluarga. Hasilnya, di kulkas gede dan lemari dapur ada aja makanan kedaluwarsa. Kalo buah sih nggak, pasti habis, termasuk dikasihkan orang. ”

“Terus?”

“Aku pasang tulisan peringatan. Belum efektif sih. ”

“Lha bojomu piyé?”

“Mas tau gimana istriku, kan? Setiap kejadian ya menyesalkan. Tapi keasyikan saat berbelanja, bukan memanfaatkan barang belanjaan, kok kayak candu ya. Aku pernah ngalami sih, Mas.”

Kurir datang. Menanyakan alamat. Pembicaraan pun terhenti.

¬ Gambar praolah: Shutterstock

4 thoughts on “Beli makanan berlebihan

  1. Istri saya kadang juga begitu. Tadi malam sdh beli nasi goreng dan capjay berkuah (keduanya porsi besar) masih pengin martabak telur. Akhirnya saya belikan via GrabFood.

    Tapi, syukurlah, semuanya ludes tadi pagi. Sisa capjay dan nasgor tadi pagi dipanaskan, untuk sarapan istri dan anak ragil sy. Sisa martabak untuk lauk tadi pagi.

    Kadang terjadi juga sisa makanan mlm dibuang pagi krn kelupaan memasukkan ke kulkas, atau kelupaan memanasi, saat semua sdh selesai makan malam.

        1. Ini blm tentu ilmiah, tapi saya menduga emang naluri manusia untuk punya stok makanan sejak zaman purba. Dapat binatang buruan gede belum tentu habis buat sekeluarga, di sisi lain orang butuh rasa aman. Maka dikenalah pengawetan makanan, dari pengeringan, penggaraman, sampai pengasapan. Tak perlu tiap lapar harus berburu.

          Lalu ada tahap berladang dan bersawah. Termasuk ladang berpindah krn kondisi lahan. Orang tak menghabiskan waktu demi makanan sehingga seni dan kebudayaan berkembang.

          Lalu ada revolusi industri dan revolusi pertanian plus revolusi penangkapan ikan dan budi daya. Semua tersedia, tapi naluri purba blm hilang. Lalu terjadilah overconsume.

          Eh kok kayak posting blog.🙈 Mari membaca Yuval Hariri. 🙏

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *