Pagi sudah mendung. Muram. Pikap yang dijejali aneka alat rumah tangga itu diparkir di pinggir kali. Lospeker di atas kokpit terus menawarkan dagangan. Semuanya serba-Rp5.000.
Sementara rekaman suara terus menawarkan dagangan, dengan sekian variasi kalimat, di jok kiri depan pikap seorang perempuan tua, mungkin sudah lansia, duduk diam. Pengemudinya, seorang pria berusia 30-an, sedang sarapan nasi uduk di belakang mobilnya.
Orang menyebut mobil yang menjadi toko berjalan itu moko, akronim mobil toko. Mungkin lebih pas ditulis “mobil-toko”. Kalau “mobil toko” bisa berarti mobil milik toko, atau dalam percakapan sehari-hari disebut mobilnya toko.
Kalau moko tulen sih beratap. Tingkap di samping dan belakang saat mobil diparkir bisa menjadi atap teritis mini.
Tetapi moko ini darurat. Hanya pikap biasa dengan bak terbuka berisi buanyaakk dagangan. Ada dagangan yang dicantelkan pada bokong mobil, dan ada juga pada hidung mobil pesek itu.
Moko. Mobil-toko. Tanpa atap di musim hujan. Dagangan serba-Rp5.000. | @blogombal pic.twitter.com/fbu9V3cper
— Gambar Hidup (@gbrhdp) December 29, 2022
Menurut sang penjual, entah siapa namanya, dia bermukim di Kranji, Bekasi, Jabar. Artinya sekitar 15 kilometer dari tempat dia parkir pagi itu. Dia tak menghitung dalam sehari ngider berapa kilometer.
Moko bisa menjadi solusi ketimbang menyewa kios mahal, sekalian menjemput bola. Tetapi Desember ini hujan sering mengguyur bumi, dan saya tak sempat bertanya bagaimana dia menyiasatinya, padahal moko itu tak beratap.
3 Comments
Iya, dagangannya buanyak gitu (dan sebagian kardusan?), kalau hujan gimana.
Si Abang cuma ketawa waktu saya tanya. Berarti dia punya solusi.
Lha itu horn speaker menghadap ke atas, kalo kena hujan jadi wadah air.
Berarti kudu ndang ngeyup — mbuh pripun carane.😁