Bel paling praktis adalah teriak sambil membunyikan gerwndel pintu gerbang. Sejak kapan itu?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Bel paling praktis adalah teriak sambil membunyikan gerwndel pintu gerbang

Apa? Sepada? Memang, itu kata arkais namun saya masih sempat mendengarkan hal itu diucapkan. Saya memostingkannya tahun lalu.

Aneh juga, KBBI V tak mengakui “sepada” sebagai salam permisi, yang merupakan peringkasan “siapa ada?” atau “anybody home?”, padahal dalam tuturan lisan maupun tulisan lama kata “sepada” itu tersebutkan. Buku dan majalah awal tahun 1970-an masih ada yang menyebutkan. Naskah sandiwara juga.

Oh, tetapi tenanglah. Dalam KBBI versi web ternyata ada lema “sepada”. KBBI Daring dari Kemendikbud itu adalah versi III.

Persoalan sepada dan sepeda

Maka baiklah, kita tinggalkan kamus, menuju ke pokok cerita. Saya tadi pagi ke sebuah mengantarkan sesuatu, titipan istri. Tak ada bel di rumah itu. Maka seperti saat bersepada di kebanyakan rumah di area saya, saya pun bersalam sambil membunyikan gerendel pintu gergabg.

Saya lihat pintu ruang tamu terbuka. Karena saya tahu bahwa pemiliknya rumah bukan Muslim, saya pun menyerukan permisi, bukan assalamualaikum. Padahal sebetulnya, bagi saya, salam dalam bahasa Arab itu boleh untuk semua orang.

Sejak kapan kita menerapkan gerendel pintu gerbang sebagai bel? Saya menduga sejak banyak rumah, juga yang kecil dan berhalaman sempit, atau langsung ke carport, memiliki gerbang.

Bukan hanya itu. Gerbang tersebut sering terkunci bahkan ketika dalam rumah ada penghuni, di ruang depan pula. Faktor keamanan menjadi alasan utama.

Salah satu rumah kenangan

Tiga rumah yang pernah keluarga saya huni, yang dua pakai pintu gerbang, dari kayu jati berat, tanpa gembok. Rumah tetangga, lebih luas, berhalaman rumput luas, dengan garasi terpisah dari rumah, malah tak punya pintu gerbang. Tetapi itu dulu, abad lalu.

Para peminat sejarah arsitektur Indonesia, dan penekun foto arsip rumah, dapat memberikan penjelasan lebih lengkap.

Lalu rumah yang saya datangi itu bagaimana? Para penghuni, yakni orangtua dan dua anak, pergi. Hanya ada ART yang sibuk di lantai atas, sementara di bawah TV menyala untuk memutar lagu.

Gerendel itu ternyata tak digembok. Kait gembok terbuka. Saya akhirnya masuk ke carport, lalu berdiri di depan pintu ruang tamu yang terbuka sebagian, dan berkali-kali bersepada dengan keras, sampaikan akhirnya ada orang turun dari undak-undakan. Misalnya saya berniat jahat, saya bisa mengambil barang apa saja yang mudah saya angkut.

Saya tahu ada kamera CCTV, namun dengan topi dan masker, jika saya tak dikenal oleh pemilik rumah, agak sulit mengidentifikasi saya dari video setelah kejadian.

Rasa aman setiap orang berbeda.

Beda orang beda selera gembok

Bohlam Disegel, Remote Controller Dirantai

2 thoughts on “Seni bersepada, bukan bersepeda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *