Saat terlentang, kecoak tidak berdaya. Jika gagal membalikkan badan, hidupnya pun selesai. Semut sudah menunggu.
↻ Lama baca < 1 menit ↬

Kecoak menunggu ajal

Memang menjijikkan. Tetapi dengan bertabah diri saya amati bagaimana kecoak telentang, bukan terlentang, menjadi tak berdaya. Dia tidak bisa apa-apa selain bergerak-gerak saja. Jika beruntung dia dapat menggulirkan badan sehingga durasi hidupnya mulur.

Ya, setelah hujan deras apalagi banjir biasanya kecoak berdatangan. Mereka menyukai kelembapan tetapi tak mau basah terendam air. Berenang pun kalau terpaksa.

Saat kecoak telanjur — bukan terlanjur — telentang sehingga tidak dapat melakukan banyak hal, lalu telantar bukan terlantar, hanya menunggu ajal, biasanya semut sudah mengincar. Semut-semut itu seperti burung nasar pelahap bingkai, siap berpesta ketika mangsa dalam sakratulmaut.

Biasanya ada semut yang tak sabar. Datang satu dua, jika akhirnya kecoak tak sanggup menghalau mereka, sementara dia semakin lemas, akan menyusul rombongan semut untuk menikmati perjamuan.

Kecoak menunggu ajal

Kecoak. Menyebalkan. Mengganggu. Menjijikkan. Demikian pula kelabang di dalam rumah. Saya tak berani lagi tiduran di atas lantai, dengan maupun tanpa alas. Lantai bersih pun tetap dijamah kecoa dan kelabang, dan kadang cacing saat hujan tiada berkesudahan.

Kecoak menunggu ajal

Cerita lain tentang kecoa, antara lain keterpaksaan saya menubruk binatang itu karena istri sedang hamil, ada dalam posting sebelumnya.

Maka telentanglah dia, meronta, tapi tak berdaya…

NPL: Hama kelapa jadi suvenir (2018)

4 thoughts on “Kecoak menjelang ajal

  1. Beberapa hari ini saya sering nggecek kecoak di kamar mandi, kemudian mengguyur bangkainya ke saluran pembuang air di pojok kamar mandi. Kadang perlu waktu karena mereka lincah menghindar, pun seolah kedot jika tak terkena gecekan yang pas.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *