↻ Lama baca 3 menit ↬

MAKA CARA MAKAN KITA PUN BERUBAH…

Beberapa hari lalu melalui Twitter saya melontarkan tanya: sejak kapankah sebagian pengudap KFC menyantap nasi kepal dengan digigit selayaknya arem-arem?

Tentu pertanyaan saya tak boros karakter seperti di atas. Dan di sini Anda akan mengunyah gunumgan karakter. Membaca tulisan yang melelahkan. Anda boleh batal meneruskannya. :)

Kita dan padi dan beras dan nasi…

Menggigit nasi. Tepatnya nasi yang dipadatkan lalu dibungkus kertas berlilin. Bukan nasi yang dipadatkan dalam mangkok lalu hasilnya ditengkurapkan di atas piring.

Mungkin tak penting. Yang pasti saya telat menyadarinya. Ternyata ada yang mengaku sudah melakukannya sejak 2005. Anggap saja enam tahun lalu. Ke mana saja saya?

Mungkin tak menarik. Tapi ingatlah, bangsa kita mengenal bermacam produk beras. Yang langsung dari beras saja ada nasi, ketupat, lontong, arem-arem, lemper, wajik, juadah, bubur — silakan tambahkan contoh lain. Belum lagi yang berasal dari tepung beras.

Pendeknya beras sangat penting sehingga kita mampu mengolahnya menjadi aneka makanan. Begitu pentingnya sehingga kita tak seperti orang Inggris lama yang dulu hanya mengenal rice sebagai beras dan nasi, dan akhirnya mengenal paddy dan paddy field. Maklumlah, beras bukan bagian dari peradaban mereka selama ribuan tahun.

Beras dan padi menjadi bagian dari keseharian kita. Carilah di Bahtera, ada berapa peribahasa yang menggunakan kata padi, beras, dan nasi. Jika ditambah contoh dari bahasa daerah tentu lebih banyak lagi.

Menurut Prof. Dr. Murdijati Gardjito dari Fakultas Pertanian UGM, kepada Kompas Minggu kemarin (13/03/2011), konsumsi beras kita “sudah berlebihan”: 139,15 kg per kapita/tahun, padahal dunia hanya merekomendasikan 60 kg per kapita/tahun.

Cara makan Indonesia modern :)

Maka saya pun menyadari suatu hal baru. Apa?

Di sebuah negeri besar yang sebagian besar penduduknya menyantap nasi (sehingga harus mengimpor beras; dan jangan lupa kelanggengan kuasa politik juga bertumpu pada beras), dan yang sebagian warga pulau tertentunya telah mengenal budaya sawah ribuan tahun (pengorganisasian kekuasaan juga dimulai dari tata pengairan sampai ke upeti dan seterusnya; begitupun keseniannya yang berbeda dari masyarakat pemburu), cara menyantap nasi di kedai akhirnya terkoreksi.

Maafkan kalimat panjang itu. Melelahkan. Bisa bikin lapar.

Intinya: generasi muda urban sampel saya menyantap nasi di kedai ayam goreng Amrik dengan cara yang berbeda dari orangtuanya.

Alasannya beragam, silakan Anda tambahkan sendiri dalam komentar. :) Alasan Anda itu sangat penting.

Hanya cara makan. Tak ada hubungannya dengan pencernaan. Yah, adab perdapuran dan pemanjaan lidah memang tak semuanya berurusan langsung dengan proses digestif.

Meskipun begitu banyak juga menu dan tata cara makan yang diandaikan menyimpan sebuah nilai. Pepatah “asam di gunung, garam di laut…” bukan sekadar seni memasak. Itu adalah cara pandang terhadap kehidupan. Sama seperti Toto Chan di Jepang mendapatkan pencerahan di sekolah gerbong: sayur dan ikan berpadu, yang dari gunung dan laut bertemu. Itulah contoh keseimbangan hidup — tetapi (mungkin) berbeda dari versi orang Eskimo dan suku-suku di Kalahari, Namibia.

Lantas apa urusan paparan bertele-tele dengan menggigit nasi?

Fast food mengubah kita. Tak perlu disesali, apalagi bisnis dan konsumsi itu bagus untuk menggerakkan ekonomi.

Semuanya (mungkin) berlangsung alami, sehingga sejumlah iklan TV KFC, yang terus diputar di kedainya itu, setahu saya tak menganggap penting penggigitan nasi itu, karena yang utama dalam visual adalah ayam goreng. Tolong Anda koreksi jika saya kurang cermat.

Cara makan nasi with style tidak masuk iklan. Aneh juga. Padahal variasi cara konsumsi produk bisa menjadi pengukuh dagangan dalam iklan — sejak cara menyobek kemasan rokok Dji Sam Soe (iklan zaman dulu), mencampurkan kacang atom ke dalam mi dan bakso, sampai cara menikmati biskuit Oreo.

Dalam kasus nasi, konsumen menemukan cara sendiri tanpa contoh masif melalui iklan. Unik juga.

Saya tak tahu apakah kelak dalam makan siang bersama dengan nasi kotak karton cara serupa juga akan terjadi. Sendok (sekali pakai) tak disertakan. Sementara cara memuluk (menyuapkan sejumput nasi ke mulut), suatu hal yang tak semua orang bisa, segera lenyap. Minimarket menjual “kertas nasi”, dan semua warung akan membungkus nasi padat.

Kalau itu terjadi meluas, maka sebuah cara bersantap Indonesia modern telah tercipta. Tanpa sendok, tapi tidak memuluk, dan tetap menjadi finger food. Sangat Indonesia.

Belajar dari “sedotan” dan tisu

Jika masalahnya hanya karena nasi dibungkus kertas, rasanya faktor ini tak sekuat kehadiran penyedot limun, berbahan plastik, pada akhir tahun 60-an. Saat itu sebagai barang baru, penyedot dijual eceran di perkampungan. Anak-anak akan memotongnya, lalu menjadikan sebagai buluh perindu di ujung lidah.

Penyedot plastik — orang bilang “sedotan” — memang inovatif, karena sebelumnya penyedot berbahan gelas tiup untuk limun, kokt(a)il dan mokt(a)il adalah barang mewah. Lalu dalam halal bil halal, tetamu cukup disuguhi air kemasan gelas plastik, juga dengan penyedot. Cara minum berubah. Yang dulu dianggap kurang sopan — memperlakukan orang dewasa seperti anak kecil — akhirnya dianggap biasa, bahkan higienis.

Penyedot membuat orang meminum dengan cara baru, sehingga akhirnya di warung kaki lima pun segelas teh hangat dilengkapi penyedot — bersanding dengan wadah tisu gulung untuk peturasan.

Saya pribadi lebih suka menyesap dan menenggak minuman secara langsung. Perantaraan oleh penyedot menghalangi pengalaman lidah dan menghambat rasa kenyang minuman. Tahu-tahu isi gelas dan botol habis. Tetapi justru karena itu penyedot dianjurkan untuk orang yang harus banyak meminum air putih. Tak terasa akan lebih banyak yang terminum.

Adapun tisu meja, yang mulai meluas penggunaannya pada pertengahan 70-an, akhirnya menyadarkan konsumen tentang alternatif. Lembar tumpukan dan gulungan hanya beda desain, dengan perbedaan spesifikasi yang boleh diabaikan, tetapi berbeda harga. Maka akhirnya tisu peturasan berpindah ke meja, dan industri plastik menjawabnya dengan aneka wadah.

Lalu kita terbiasa dengan itu semua. Kita boros penyedot (sudah masuk komponen biaya penjual minuman) dan terlebih boros tisu (termasuk saya). Karena masih transisi maka ada saja warung yang membuang penyedot semaunya, dan ada saja pengudap yang membiarkan gumpalan tisu memenuhi meja warung bahkan lantai warung. Itu semua adalah bagian seni makan ala Indonesia.

Terima kasih, Anda telah membaca tulisan panjang ini. Saya sendiri pun capai menuliskannya. :D

Foto: Memo: Joni Jontor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *