“Saya sebel Oom, kalo orang nge-share berita tapi setelah diklik harus login. Taunya cuma bisa dibaca yang langganan pake bayar. Kitanya udah jadi paham literasi media, jangan langsung percaya screen capture, eh taunya harus bayar!” gerutu Eko Echo.
“Terus yang kamu sebelin siapa, Ko?” tanya Kamso.
“Yang nge-share link soalnya snob, sama yang punya media. Kalo media main di online tapi pake bayar berarti dia nggak bisa bisnis, Oom! Yang lain bisa gratis kan?”
Lalu Kamso menyimak keluh kesah Eko, yang ditutup dengan, “Emang sih kadang saya dikasih akses temen atau dapat PDF yang katanya ilegal soalnya ngebajak.”
“Terus apa yang kamu dapat di sana, Ko?”
“Tulisan bagus, liputan eksklusif, foto bagus, infografik cakep. Yang media gratis sering nggak ada itu. Gambarnya jelek, sama dengan media lain. Tulisan muter-muter, dipecah jadi dua tulisan lebih, infografik nggak tiap hari, ilustrasi nggak keren. Iklan nutupin layar hape. Saya kan pernah sebentar di pers kampus, di majalah sama online. Tahu dikitlah soal media harus gimana.”
“Media di kampus butuh biaya kan?”
“Lha iyalah tapi nggak banyak. Kita kan nggak digaji, Oom. Bukan maksud saya orang media berita nggak usah digaji lho, Oom.”
“Terus sebaiknya gimana, Ko?”
“Nggak ada lagi media pake bayar. Itu kuno. Yang dibilang senjakala koran tuh udah lewat, media cetak udah tamat. Media online gratis itu solusi, pembaca udah bayar pake kuota, rela kalo layar ditutupin iklan, nrimo kalo tulisan panjang muter-muter bersambung, tapi mestinya bisa kasih konten kayak yang media pake bayar itu. Aneh nggak sih, ada media kecil tapi kayak punya wartawan banyak, kata temen saya di sana mereka nggak punya wartawan di istana, cukup nyebut ‘katanya kepada media’. Malah kadang katanya ngutip dari TV sama streaming.”
“Lho, masalahmu sama media gratis atau media berbayar?”
¬ Gambar praolah: Shutterstock
5 Comments
di Jerman juga kasusnya mirip. media juga banyak dipegang pengusaha. bahkan poros politiknya jelas terlihat. salah satu cara untuk mengimbangi ya ada semacam “pajak penyiaran”. pengelolanya independen, tapi diwajibkan oleh pemerintah. uangnya dari warga, biar informasinya berpihak ke warga, buat penyeimbang. juga biar pemerintah ngga bisa nyetir informasi juga. saya juga ikut bayar, walah hampir ga pernah nonton TV/dengerin radio. selain membiayai lembaga penyiaran publik, sebagian dananya juga buat subsidi acara-acara kesenian warga biar bisa gratis dan murah..
Iya cara Jerman dan beberapa negeri lain begitu 👍
Eko Echo (bukan Eco) ini kakehan komplin. Mbok sudah kayak saya : jika ada kawan share tautan, yang ketika diklik ternyata tautan berbayar, harus login (semisal tautan kompas.id😁) hambok langsung ditutup lagi. Gitu saja kok repot to kooooo ko!
Era media digital memang bikin gamang dan gagap, bukan hanya bagi konsumen media tapi juga penerbit.
Orang terdidik gak sedikit yang ogah klik tautan berita di medsos, bagi merek screenshot cukup, padahal ini rentan hoaks.
Teman saya, sarjana komunikasi, pernah jadi dosen, sampai hari ini berprinsip apapun yang ada di internet harus gratis. Ya tulisan, foto, video, bahkan beli rekaman bajakan pun dia suka selalu doyan beli CD asli. Tapi kalau buku bajakan kayaknya nggak, mungkin karena dia kutu buku dan pernah bikin buku.
Penerbit media hidup dalam alam baca macam itu. Tentu ada sekian model pendekatan dalam pendanaan, tapi belum ada yang katakanlah ideal.
Maka pembaca memasang ad blocker, lalu media membalasnya dengan pengingat. Pembaca tak mau kenyamanan mata terganggu, tapi maunya gratis tanpa iklan pengganggu.
Tentu media perlu dikritik, dari soal clickbait berlebihan, tulisan muter-muter yang dipecah jadi beberapa bagian demi trafik, sampai pengulangan artikel atas nama update.
🙏
Paragraf terakhir saya sangat sepajat, karena itu memang ndembik, menyebalkan.
Hanya, masalahnya, itu sudah jadi kredo — dan menular — di kalangan pengelola media daring (meski tidak semua). Misalnya, seingat saya dahulu kala Kompas online tidak pakai itu tapi kemudian tertular ilmu digital anggota keluarganya, Tribun.