Ketika konten di YouTube tak memanfaatkan karakteristik video, perlakukan saja sebagai radio.
↻ Lama baca 3 menit ↬

Media dengar, dari Manifesto Komunis sampai cerpen Seno Gumira

Suatu dini hari, dua pekan lalu, saya mendusin dari tertidur di atas sofa karena tablet yang saya jadikan radio transistor memperdengarkan percakapan dua perempuan Jawa, dalam bahasa Jawa, ihwal aroma telasih di sebuah rumah besar. Tak ada jeritan maupun efek suara horor hihihi ala kuntilanak. Tapi saya bergidik setelah mendengar sandiwara seram itu. Saya ganti saluran, dari Radio Retjo Buntung Yogyakarta ke radio jazz Jagakarsa. Saya pun bisa tidur lagi.

Konten teater benak tak pernah tamat. Hanya berisi suara, ucapan dan percakapan dengan maupun tanpa musik dan efek suara. Ada yang hanya bercerita. Ada yang berupa sandiwara. Bahkan pengertian podcast atau siniar, medium awal konten suara bertutur maupun bercakap-cakap, akhirnya tak berubah nama ketika menjadi konten video berisi obrolan di YouTube selayaknya talkshow di TV.

Kini siniar berjibun. Di Spotify, misalnya, ada kanal Titimangsa, salah satunya berisi Chicco Jerikho menceritakan bagaimana berakting untuk monolog tentang Amir Hamzah dan karakter lain.

Apakah siniar barang baru? Tentu tidak.

Sebagai nama dia tak terlepas dari kemunculan iPod, pemutar musik yang kemudian tergusur smartphones, termasuk iPhone. Tapi konten auditif di luar radio sudah ada sejak 1970-an bersama kaset — mayoritas impor, dari sandiwara, ceramah, pelajaran bahasa Inggris, panduan yoga, sampai ringkasan buku. Pada awal 1990-an, kaset ringkasan buku Steven Covey, dalam bahasa Inggris, laku di Jakarta. Untuk didengar di mobil, kata penyukanya. Begitu pun ringkasan buku Celestin Prophecy: An Adventure karya James Redfield.

Kini ringkasan buku maupun pembacaan buku, misalnya cerpen, pun bermunculan, dalam bahasa Indonesia. Tentu beda penyaji beda hasil.

Untuk ringkasan buku, menarik juga siniar audiobook dari aplikasi Noice, Grup Mahaka, milik Erick Thohir. Ada ringkasan dari buku karya Yuval Hariri dan Jared Diamond. Ada pula ringkasan pelajaran Manifesto Komunis, mirip buku-buku serial for dummies, for beginners, atau for idiots, bahkan berupa graphic guide, ihwal Marxisme, feminisme, Noam Chomsky, Jacques Derrida, Michel Foucault, Roland Barthes, dan entah apa lagi, pokoknya hal-hal memusingkan yang sering dibualkan orang.

Saya yang tak telaten melihat konten panjang di YouTube sering menikmati hanya dengan telinga, terutama obrolan yang kurang memanfaatkan kelebihan video, misal tanpa videografik, dan posisi kamera maupun penyuntingannya membosankan, sehingga cukup saya dengarkan sambil ini dan itu. Misalnya kanal Ade Armando dan Denny Siregar. Juga Deddy Corbuzier. Atau Gita Wiryawan dan tamunya — yang dengan Sri Mulyani bagus, seperti kuliah umum semester satu lintas fakultas. Begitu pun Najwa Shihab dan Quraish Shihab.

Intinya, sepanjang artikulasi jelas — tak seperti rekaman suara saya yang ketika saya dengarkan sendiri malah bikin saya menerka-nerka omong apa tadi — dan tanpa pengayaan gambar hidup, video cukup didengar. Sama seperti saya mendengarkan infotenmen dari TV yang disetel orang rumah di ruang lain, “Pemirsa, maka terkuaklah sosok orang ketiga dalam perkawinan mereka…”

Konten suara adalah seni bertutur. Bapak dan ibu saya masih ingat, ketika saya masih kecil, belum TK, menangis ketika didongengi Hansel dan Gretel. Saya kasihan dan takut dibuang, apalagi saat menyimak dongeng lampu tiba-tiba padam.

Setelah masuk SD, saya sering menanggap Mbah Putri menceritakan ulang cerita Tarzan yang dia ikuti dari pembacaan kisah karya Edgar Rice Burroughs di RRI Yogyakarta dalam bahasa Jawa.

Lalu setelah saya jadi orangtua, hanya si sulung yang mengalami saya dongengi, dengan cerita favorit Kancil Nyolong Radio, carangan versi saya. Tapi ketika pada 1990-an Telkom jualan konten premium dongeng anak, saya tak memanfaatkan. Takut kalau tagihan membengkak karena cordless phone bisa ditaruh di sebelah bantal.

Kini melalui internet ponsel, biaya mendengarkan musik legal dan siniar lebih murah. Platform pengaliran (streaming) memberi banyak pilihan. Bluetooth earphone menjadikan konten audio visual sebagai hiburan personal sekaligus individual, dalam satu rumah setiap telinga punya asupan sendiri, dasbor router mencatat akses data. Berbeda dari era radio zaman dahulu, ketika satu alat didengar orang serumah. Tak seperti TV di banyak rumah, meskipun mampu beli lagi tetap dibiarkan hanya satu, supaya ada pengalaman menonton bersama dan berkomentar bersahutan. Tanpa pandemi, suara earphone setiap penumpang Transjakarta dan Commuter Line tak tampak berdesakan seperti penikmatnya.

Kejayaan kembali media dengar semoga dicatat aplikasi digital wellbeing pada ponsel, bahwa durasi mata kita menatap layar (screen time) berkurang, begitu juga frekuensi nat-nit-nat-nut jari menekan layar, sehingga dianggap bagus.

Kini berita dan artikel pun disertai narasi, suatu hal yang semestinya dapat dilakukan oleh robot secara otomatis dengan hasil tuturan wajar dalam bahasa Indonesia enak yang tak seperti Google Maps dan Waze. Tentu tak perlu beraroma imbauan MC ala Maria Oentoe di bioskop 21 dan XXI. Enak di telinga tapi seperti maklumat.

Soal lain? Di Tiktok dan YouTube Shorts juga bermunculan penutur cerita. Kalau saja panjang, bisa saya perlakuan sebagai radio.

¬ Gambar praolah: Freepik

4 thoughts on “Media dengar, dari Manifesto Komunis sampai cerpen Seno Gumira

  1. saya denger siniar kalo beraktivitas yang tak butuh konsentrasi, misal saat berada di angkot atai sedang bersih-bersih rumah.. kalo pas lagi konsentrasi saya lebih senang dengerin musik..

    siniar favorit saya tetep siniarnya Bang Rane.. 😆

  2. Siniar bukan kesukaan saya, jarang bingits sengaja nyetel/nonton. Entah mengapa saya nggak seneng. Mungkin karena, spt biasa, sy memang embuh.

    Kalau yang contoh bongso wartawan “ortu monyet” dan “ngarepe k mburine l (el)” dan sejenisnya itu sering saya lht gara2 bersliweran di grup WA maupun japri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *