
Entahlah apakah masih banyak bloger yang ingat bahwa hari ini, 27 Oktober 2025, adalah Hari Blogger Nasional. Saya tak mencari tahu apakah hari peringatan itu diakui oleh negara. Memang sih pencanangnya dahulu adalah menteri komunikasi dan informatika saat itu, Muhammad Nuh, dalam Pesta Blogger di Jakarta.
Saya tak menghadiri acara tersebut. Ada yang bilang karena saya minder. Mungkin benar. Tetapi itu tak penting. Saya presen tak menambah, saya absen tak mengurang. Namun saya ingat, jalan menuju gelaran itu dibangun melalui milis. Salah satu motornya adalah Ong Hock Choan dari Maverick. Ada sejumlah usulan nama acara. Mengapa akhirnya Pesta Blogger yang terpilih ada dalam arsip milis.
Lalu soal judul pos ini? Jawaban saya: ngeblog masih relevan. Bagi siapa? Bagi si bloger atau narablog dan pembacanya. Tetapi apakah pemain lama masih ngeblog, saya menyentil dalam pos Mei lalu:
Lalu kenapa sebagian bloger yang dulu aktif kini berhenti? Saya punya teman, seorang pelancong sejak belia, bukan bloger, dan kini saya tak bertanya kenapa tak mengirim kartu pos bergambar lagi. Pertanyaan itu tak perlu karena dengan media sosial dan pelantar perpesanan maka gambar dari in situ terkirimkan dalam sekejap, autentik pula.
Kemudian saya katakan:
Setiap hal memiliki masa menggairahkan. Maka misalnya masih ada orang ngeblog mungkin itu penyimpangan. Dhemen kangèlan, kata wong Jawa. Namun bagi saya inilah cara memperlambat laju demensia, dan hasilnya terarsipkan pula.
Jika menyangkut presensi di ladang digital, tak semua pemain mula masih aktif di X, Instagram, dan Facebook. Demikian pula dengan pelantar macam Medium dan Substack. Misalnya Friendster dengan gaya lama masih hidup, saya tak tahu masih adakah orang lama Indonesia yang aktif di sana. Soal entah juga berlaku untuk Plurk.
Oh, berarti benar kata Roy Suryo dahulu kala bahwa blog cuma tren sesat? Bagi saya tidak. Ngeblog tak pernah menjadi tren, bahkan kata blog, ngeblog, dan bloger pun tak semua orang paham — misalnya sebagian teman SMP dan SMA saya. Bandingkan dengan Facebook, lalu Instagram, dan akhirnya terutama TikTok: banyak orang paham, teman SMP dan SMA saya paham Facebook, Instagram, dan TikTok.
Tatkala Facebook muncul, dan dipermudah oleh ponsel, kalau dahulu seseorang tak hadir di sana kurang lengkaplah hidupnya. Maka hadir di Facebook itu dahulu bisa disebut ngetren. Sedangkan untuk blog, dengan beraneka pelantar, dalam tamsil Jawa arkais bisa disebut ora ngeblog ora pathèkên. Artinya: Nggak ngeblog nggak puru (Framboesia tropica). Itulah tamsil jadul yang pas untuk ngeblog yang bagi sebagian orang adalah dunia silam. Mungkin dermatolog urban hanya menjumpai pathèkên dalam pustaka, bukan dalam ruang praktik.

Lalu apa yang membedakan blog, mikroblog, dan segala layanan jejaring sosial serta media sosial? Format dasar blog adalah tulisan agak panjang, kalau kurang dari 160 karakter akan seperti SMS zaman dulu — memang sih ada yang hemat kata karena berbasis gambar, blog seperti galeri; dan ada juga blog yang berisi tulisan serupa haiku.
Bagi banyak orang, menulis adalah beban, merepotkan, membutuhkan energi, apalagi seperti saya melakukannya di ponsel. Tetapi hal itu justru normal. Apalagi kini ketika banyak orang jenuh oleh teks karena video singkat lebih menarik. Saya, sejauh saya ingat, tak pernah mendaku sebagai penulis, writer, atau author. Kenapa? Supaya tak menjadi beban bagi saya. Apalagi kalau menyebut diri sebagai pengarang.
Eh, tadi ada kata “justru normal”. Berarti, orang yang masih ngeblog bagaimana?
Lebih baik tak saya lanjutkan karena blog wagu rewel melulu.



11 Comments
Saya ngeblog maka saya ada — meski ngeblognya jarang-jarang.😁
Saya ngeblog, saya ada.
Saya nggak ngeblog, saya ada. Kalo saya nggak ada, istri saya nyari.
Nyarinya ke mana?
Kalo pamitnya ke Solo ya nyari sampe Serangan, siapa tahu suami sedang melakukan serangan
Wolhaaaa!
Selamat Hari Bloger, Bang Paman. Salut atas konsistensinya.
Ttd
dulu pernah ngeblog 😀
Aha!
Apa kabar Mbak Mpok? 😇
haha
saya dulu kayanya udah siap siap berangkat, lalu kemudian males
:)))
👏👍💐👼
Selamat hari blogger nasional.
Eh 🫣