Menulis takkan dibaca apalagi diingat orang, kecuali kita pengarang tersohor. Menulis maupun tak menulis sama saja. Masa?
↻ Lama baca 2 menit ↬

Kedai Merahh, kumpulan cerpen karya Blogombal.com

Karena khawatir buku kumpulan karangan saya itu akan dihapus Issuu, kecuali dengan membayar, saya pun mengirimkan tautan Kedai Merahh (2010) kepada seorang sastrawan tadi siang.

Sebelumnya dia berbagi foto dari Facebook, via WhatsApp, berisi cerpennya di Hai edisi Juni 1992, judulnya “Richie Blackmore”. Di dalamnya ada babak seorang pengamen di hari tuanya, pada 2020.

Saya katakan kepadanya, tiga belas tahun silam saya berlebih energi sehinga sempat membuat kumpulan cerpen-cerpenan. Saya sendiri yang menulis, membuat ilustrasi, membikin desain grafis, dan menata halaman (layout).

Kedai Merahh, kumpulan cerpen karya Blogombal.com

Sekarang saya tak mampu melakukan itu. Bukan soal memilih bekerja di desktop atau laptop, atau malah menulis di ponsel, kemudian menjadi dokumen PDF maupun EPUB, melainkan energi — dan juga gagasan. Saya tak mampu justru pada saat saya tak punya kesibukan yang layak saya klaim sebagai pekerjaan.

Meskipun demikian saya bersyukur kini belum terlalu pikun, masih mau berlatih menulis, melakukan keisengan ini dan itu, dan sedikit belajar hal baru yang menarik.

Teman saya yang sastrawan itu, lebih tua dari saya, masih produktif: menulis sastra, esei, artikel untuk jurnal, meriset artefak telstual, menjadi penyaji dalam seminar, tetapi entah dengan fotografi yang dulu dia geluti. Dia pernah menjadi rektor, beberapa karyanya difilmkan. Ingatan dan gagasan dia masih tebal.

Banyak teman sebaya — dalam arti bisa tiga tahun lebih tua atau tiga tahun lebih muda — yang laju kepikunannya melebihi saya. Ada yang setiap kali berbicara, dalam satu kalimat selalu ada kata “apa itu…” karena sukar mengingat. Saya pun mulai bergejala serupa namun belum separah beberapa teman.

Meskipun pada masa mudanya sering menulis — ada juga yang karena profesi — setelah tua mereka merasa sulit menulis hal sederhana dalam kalimat tertata secara genah. Umumnya mereka merasa selalu punya ide namun sulit untuk mengawali alinea pertama. Ada pula yang merasa tumpul, tiada gagasan layak tulis sama sekali.

Buklet panduan ngeblog ala Blogombal.com

Saya tak berharap energi dan, katakanlah, kreativitas saya, akan pulih seperti zaman Kedai Merahh dan aneka panduan blog (misalnya karya 2008 dan 2010, namun yang 2008 sudah tak relevan). Saya hanya berharap tak lekas didera amnesia berat dan kehilangan perbendaharaan kata.

Apakah semua karya saya akan diingat orang? Dulu pun tidak apalagi kini dan esok. Penulis tenar saja belum tentu diingat apalagi saya: bukan penulis, pun tidak dikenal khalayak. Dan Kedai Merahh tak dibaca banyak orang. Mana mungkin diingat khalayak?

Bagi saya saat ini lebih penting menyelamatkan ingatan dan gagasan saya sesuai kelumrahan usia. Antara lain dengan ngeblog.

Buklet panduan ngeblog ala Blogombal.com

10 thoughts on “Berlebih energi, menghasilkan kumpulan fiksi

  1. Tentang berlatih menulis, saya pengin seperti Paman tapi tidak mampu. Menulis untuk blog sehari satu konten saja, belum mampu.

    Tapi saya bersyukur, sejak lebih dari sebulan lalu saya bisa mengurangi kegiatan kurang berguna memakai ponsel, lalu menggantikannya dengan lebih mempeng ngeblog (di ponsel juga sih), yang berarti tiap hari menulis meski tidak selalu langsung jadi konten.

    Tentang teman Paman yang sastrawan itu, tidak ditulis namanya dalam konten Paman ini, tapi ada disebut (dengan sapaan Mas) dalam kanal NPL tentang pelangi beberapa hari lalu.😁

    1. Teman saya bilang, terbitkan aja. Saya malu. Lagi pula tahu takkan laku. Kesian saya, kesian penerbitnya, dan ketika saya melihat buku saya ada di kotak obral tapi tak ada yang sudi membeli, makin malulah saya. 😇

      Tentang latihan, saya pernah mencontohkan musisi. Sekarang tambah lagi: pesilat sejati terus berlatih hingga tua.

      Beberapa tahun lalu, ada berita seorang lansia berduel dengan maling dalam kamar. Dia purnawirawan AL, karateka kalo gak salah. Di maling tewas.

  2. Tentang Kedai Merahh, sejauh saya ingat, ending di cerpen-cerpennya mengagetkan. Salah satunya, saya lupa judulnya, endingnya mengungkap bahwa seorang pria yang dahulu aktivis di Yogyakarta ternyata muncikari. Koreksi saya bila salah, ya, Paman

    1. Hebat msh ingat. 👍🙏😇

      Dulu banget pada era “ayam kampus” sebelum ada internet, agen pemasaran juga mahasiswa. Selain agen penjualan, si aku adalah intel di kampus. Indekosan apalagi asrama banyak penghuni mungkin saja ada intelnya.

      Di sebuah PT, seorang aktivis yg memimpin badan kemahasiswaan setelah lulus bekerja di sebuah badan intelijen, tempat kerjanya gonta-ganti, dari kementerian ke kementerian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *