
Kemarin masih ramai berita menu MBG di Depok, Jabar. Ada dua hal yang masih membuat saya penasaran. Pertama: sejauh saya tahu media berita hanya menampilkan ompreng dan isinya, tanpa penjelasan visual seperti yang saya contohkan dalam versi sederhana menggunakan ponsel, padahal itu mudah asalkan sumber informasinya genah. Kedua: sejauh saya tahu BGN tak membuat penjelasan disertai dukungan data ilmiah secara visual.
Yang dapat media lakukan dengan lekas adalah memvisualkan berita dengan data asumtif, bukan laboratoris. Untuk itu harus merujuk sumber otoritatif, yakni ahli gizi. Di Indonesia ada Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) dan Ikatan Sarjana Gizi Indonesia (Isagi). Orang-orangnya berkompeten. Urusan infografik itu mudah kalau unsur informasinya simpel. Saya belum mencoba, namun saya merasa AI bisa membantu.

Komunikasi di BGN mestinya juga efektif, apalagi di sana ada orang berlatar jurnalistik dan pernah mengurusi komunikasi capres. Mestinya dia tahu cara memasok informasi untuk media: menyodorkan umpan layak berita.
Posisi media dalam situasi dan kondisi apa pun harus adil. Maka bagi saya dalih Tim Investigasi Independen BGN, bahwa penggunaan kentang untuk menekan tingkat makanan terbuang, itu menarik. Food waste banyak berasal dari nasi dan sayur (¬ Kompas.com, 8/10/2025).
Soal food waste ini serius. Beras tak dihasilkan dalam semalam, begitu juga kedelai untuk tahu tempe, serta daging sapi. Membiarkannya terbuang adalah pemborosan sumber daya sejak awal hingga sampai di piring makan.
Kompas selumbari (7/10/2025) menulis, “… setiap tahun 1,3 miliar ton makanan terbuang percuma atau jadi sampah. Sementara 673 juta orang di beberapa negara terpaksa kelaparan akut karena tak punya makanan. Indonesia salah satu tempat kontradiksi itu terjadi.”
Disebutkan dalam berita, “Butuh lahan lebih besar dari daratan China untuk menanam aneka bahan pangan sebanyak 1,3 miliar ton. Jumlah setara sampah makanan setiap tahun. Produksi pangan sebanyak itu membutuhkan air 170 triliun liter. Air sebanyak itu cukup untuk mengisi 183 juta kolam renang berukuran standar Olimpiade.”
Yeah, soal makan di luar yang terbuang, antara lain dalam kasus MBG basi dan atau tertolak, itu kompleks. Menyangkut selera dan kebiasaan. Tidak bisa hanya berbasis komposisi teoretis karena menyangkut urusan mata dan persepsi. Kenyang atau kurang kenyang belum tentu sama dengan kecukupan gizi dan kalori. Itulah perlunya komunikasi. Kalau ingin tahu lebih banyak, dan siap untuk seperti dimarahi, bertanyalah kepada Dokter Tan Shot Yen.
Karena makan juga menyangkut kebiasaan lokal, maka menu setiap daerah MBG bisa berbeda. Kebetulan Kepala BGN Dadan Hindayana adalah seorang entomolog, ahli serangga, sehingga penyajian belalang goreng, sepanjang tak ditolak publik lokal, pun ada yang mungkin mempertautkannya dengan latar Dadan. Padahal soal gizi itu urusan ahli gizi. Soal potensi ancaman terhadap populasi belalang, itu urusan ahli lingkungan. Soal sedap di mata dan lidah, itu urusan ahli kuliner.

Halah, dikasih makan gratis kok riwil, banyak syarat pula? MBG pakai duit rakyat, Jenderal! Lagi pula ini menyangkut risiko kesehatan.


