Ternyata beberapa tiang telepon di area saya sudah dinomori. Tepatnya: dinomori lagi sebagai aset korporat. Tiang listrik juga begitu. Padahal akhir bulan lalu saat saya mengeposkan cagak Telkom untuk portal, belum ada nomor.
Hanya saja pada tiang portal itu hingga kini tak bernomor. Kode PDE mungkin Pondokgede. FXX mungkin fixed phone area X. TLK boleh jadi Telkom, bukan ISP apalah.
Bukti bahwa nomor Telkom itu merupakan teraan baru adalah rupa yang masih jelas, dan menimpa stiker sedot WC. Saya menduga peneraan nomor ini dengan cara stensil: lembar kertas atau plastik dilubangi lalu ditutul spons bercat atau memanfaatkan luas roller. Pakai cat semprot bisa sih namun rawan clèprèt.
Eh, tetapi bukankah nomor tiang telepon berubah terus, masa juru tera membawa ratusan lembar cetakan? Masih penasaran saya. Bahkan saya sempat menduga ada spasi kosong untuk kemudian ditimpa nomor tiga digit, satu per satu. Kalau membawa nomor jadi bisa berarti sekian ratus lembar cetakan angka tiga digit.
Setelah memergoki nomor tiang telepon, saya mencari tahu bagaimana dengan tiang PLN. Tiang listrik di seberang rumah ternyata sudah ditandai dengan pelat kode batang, bercincin, dan tampak baru. Cincin masih mulus berkilat. Posisi kode lebih tinggi daripada kepala saya.
Saya malah iseng membayangkan cara ribet: pelat nomor kecil dibuat dari lempengan PCB direndam feriklorida (FeCl3). Saya dulu saat belia suka iseng bikin desain, bukan sirkuit elektronik, dengan cara itu. Kadang pelat tembaga saya garap juga, memanfaatkan spidol legap (opak, opaque) dan Rugos VIP.
Lalu hubungan nomor cagak dengan ancar-ancar rumah? Saya membayangkan sebelum ada ponsel cerdas apalagi kode batang maupun QR, pun sebelum ada Google Maps, ada janjian bersua ala cerita detektif berdasarkan nomor tiang, lalu saling mencocokkan potongan uang kertas. Demikian pula dalam meletakkan barang pada jam tertentu untuk diambil.
Namun ternyata ada mobil parkir tak jauh dari sana, penumpangnya menggunakan teropong bahkan kamera berlensa tele. Halah, fantasi jadul.