Ditanya dari mana asalku, jawabanku bisa Salatiga, bisa Yogyakarta. Tidak konsisten. Lalu akan tampak makin tak konsisten setelah terbukti aku tak banyak tahu tentang perkembangan kedua kota itu. Bahkan peta di benak pun mulai pudar. Logat bicaraku sangat Jawa, namun tak sepenuhnya seperti orang Salatiga maupun Yogya.
Rumah ini, di Yogya, adalah rumah keluargaku sejak dulu. Di rumah dalam kampung itu ada ibuku, berusia 92 tahun, yang masih gemar membaca koran dan mengisi TTS itu. Ibu senang setiap kali memanen pisang kepok.
Sebagai keluarga Yogya, aku lahir di Salatiga, Jateng, di sebuah klinik bersalin milik Dinas Kesehatan Tentara di Cungkup. Lalu aku dibawa pulang ke Gondokusuman, YK, dekat Pasar Demangan. Ketika aku berumur tiga tahun, dan adikku yang lahir di YK baru setahun, bapakku pindah ke Salatiga.
Di Salatiga, rumah dinas pertama Bapak di Sinoman, Jalan Osa Maliki, termasuk besar dengan pelataran dan kebun, ada halaman berumput tempat aku berbaring memandang awan, ada pohon kelengkeng yang rimbun besar maupun yang lebih kecil. Hanya lima tahun kami di sana.
Kemudian kami pindah ke rumah dinas besar di Pengilon, Mangunsari, tepatnya Jalan Osa Maliki. Letaknya di antara pertigaan Kalinongko dan Radio Zenith. Setelah menempati 22 tahun, orangtuaku pindah ke rumah sendiri di Karangalit, namun saat itu aku sudah bekerja di Jakarta. Sejak kelas dua SD hingga SMA aku tinggal di rumah Osa Maliki. Tak banyak pengalamanku di Karangalit, karena saat mudik aku menginap di rumah mertua, juga di Salatiga.
Begitu kuliah aku kembali ke rumah YK. Sepuluh tahun aku di sana kemudian aku bekerja di Jakarta. Aku tumbuh menjadi dewasa di rumah dalam gambar ini. Hanya sekitar empat tahun orangtuaku di Karangalit, Salatiga, lalu kembali ke YK. Akhirnya rumah yang tak aku akrabi itu dijual.
Rumah di YK sudah tua, dibangun setelah Bapak dan Ibu menikah. Usia rumah kini 70 tahun. Sudah tidak cekli. Foto kelima dari atas, yakni potongan kayu lisplang yang jatuh ke tanah, lalu tersadarkan pada tiang teras depan, adalah bukti. Tentang teras, di belakang, sisi kiri rumah, juga ada, menyambung dengan paviliun.
Adapun foto keenam, lubang pada pintu seng di halaman samping, di kanan rumah, adalah bagian dari mozaik wajah rumah. Di sekitar rumahku sekarang tak ada lagi rumah berpelataran luas. Masih ada dua sih, halamannya cukup untuk beberapa mobil. Yang pertama di depan rumah, dulu indekos pria lalu jadi hotel. Yang kedua di sebelah kanan rumah, tua usia rumahnya, lebih tua dari rumahku.
Adapun sebelah kiri rumah adalah hotel. Demikian pula rumah di gang seberang rumahku, ada dua penginapan, yang satu berkolam renang. Adapun rumah-rumah lain adalah indekosan.
Kampung ini sudah banyak berubah karena YK juga sudah berubah. Lebih banyak bangunan, manusia, dan kendaraan. Suatu hal yang wajar karena kota berkembang, berbeda dari masa kuliahku dulu.
Menyadari rumah ini sudah tua, aku pun sadar sudah tua dan kian menua. Setiap hari usiaku bertambah. Tak dapat aku kekang. Untuk rumah, aku sudah punya, di Kobek, Jabar, aku tempati hingga kini.
Ketika orang makin menua, yang dapat mereka kumpulkan adalah serpihan ingatan tentang rumahnya pada masa lalu, berikut sejumlah peristiwa yang mungkin penting mungkin tidak. Entahlah apakah orang yang sudah pikun berat justru bahagia karena tak ada yang mereka ingat.
8 Comments
Anak kecil dulu pasti senang, bisa main di halaman seluas itu. Ada bunga kemboja, sepatu, tapi paling top pisang kepok itu ya, Bang Paman.. Enake bisa metik buah dari pohon sendiri :D
Iya kalo habis metik, ibu saya kirim foto via WhatsApp
Langgamnya menyenangkan. Tapi tone warna pintu garasi dan pintu pagar rodo slenca. Nggak ada tanduran Kates didepan juga bisa dianggap nyalahi kahanan. 😂
Dulu tanpa pintu tapi halaman sering dipakai parkir orang tanpa permisi. Bahkan ketika adik saya datang, mobil nggak bisa masuk. Lalu ibu saya nyari pemilik yang lagi bertamu di rumah kos sebelah. Si tamu, cewek, menjawab, “Sebentar Bu, ngobrolnya belum selssai.”
Sekarang setelah ada pintu, orang malam hari bisa buka sendirian buat mundur, tanpa permisi. Piyé jal?
Soal pohon pisang, pepaya juga ada. Dulu di majalah Asri, termuat halaman rumah Ketua IAI Adhi Moersid ada pohon pisangnya 😅
Saya ingat pernah berkunjung ke rumah ibu Paman saat melayat, beberapa belas tahun yang lalu.
Beberapa kali juga lewat dekat situ ketika mencari jalan pintas ke Jalan Solo, tapi belok kiri di gang sebelum rumah beliau.
Suwun Mas Sandalian.
Njenengan juga pernah ngedrop saya pada 2015 sehabis nyoto pagi Dalbe bareng teman-teman yang digagas oleh Enade.
Njenengan pake motor H – – – – F. 😇
Nyuwun sewu, ngajengipun K amargi Purwodaddy (tepatnya Grobogan) sampun ndherek Karesidenan Pati sejak awal 2000-an.
Oh gitu ya? Maaf 🙏😇