Ibu saya 92 tahun. Ingatannya masih bagus untuk usianya. Dia masih rajin membaca koran dan mengisi TTS. Dulu, waktu saya kecil hingga remaja, ibu juga baca buku, terutama serial cerita silat Kho Ping Hoo dan S.H. Mintardja.
Waktu saya masih bocah, Ibu mendongeng dan mengajari anak-anaknya menyanyi dari buku. Semasa mudanya, Ibu adalah guru SD BOPKRI Gondolayu, Yogyakarta.
Kini dari koran Kedaulatan Rakyat, Ibu mengikuti pemuatan ulang cerber Api di Bukit Menoreh. Kata Ibu sambil tertawa, “Kadang cerita yang sudah dimuat dipasang lagi. Urutannya jadi kacau.”
Secara sok tahu saya tanggapi, “Tukang tata letaknya ndak baca, Bu. Asal ambil dan pasang naskah.” Ya, tugas orang layout memang bukan memeriksa teks sampai detail. Tetapi Ibu tak tahu saya dulu tukang paste-up dan layout amatir. Ibu sejak dulu telaten membaca kertas laporan pemeriksaan dari laboratorium.
Sampai kini Ibu rajin ke dokter dan bertanya terus. Tadi saya kesulitan mengingat kata neuropati, Ibu dengan cepat menyebutkannya. Dalam soal bahasa, saat saya masih sekolah ibu kerap mengoreksi. Saya ingat, Ibu membetulkan, “Frustrasi, bukan frustasi.”
Ibu tidak berlangganan koran, memilih membeli eceran setiap pagi dari loper keliling. Dengan begitu dia bisa bercakap-cakap dengan loper, membeli pulsa, dan minta tolong masalah di ponselnya diatasi. Wajar untuk orang seusianya jika tak paham, misalnya, membersihkan memori ponsel termasuk yang menjadi tembolok (cache).
Interaksi melalui teks masih Ibu rajin lakukan. Setiap hari. Memanfaatkan WhatsApp. Kalau dulu ya via SMS. Sering salah tik itu biasa. Orang yang lebih muda, termasuk saya, juga begitu. Di blog yang saya isi melalui ponsel ini sering kali ada salah tik yang lolos.
Menulis teks harian pada kertas juga masih Ibu lakukan. Misalnya rajin mencatat hasil pengukuran tensi dengan alat manual yang ada stetoskopnya. Tadi pagi saya dia minta mencatat.
Satu hal yang anak-anak sarankan ketika berita politik hanya bikin jengkel adalah jangan mengikuti. Politikus memang gemar menaikkan tekanan darah rakyat. Kebahagiaan mereka di situ: memindahkan masalah dirinya kepada publik. Mungkin 12 dari 11 politikus begitu. Ya, 12 dari 11. Dibuat 11 dari 12 juga boleh.
Kata Ibu, kalau tajuk rencana masih sering dia baca karena, “Tajuk kuwi isiné genah. Sing suwé-suwé ora mutu kuwi Sungguh-sungguh Terjadi.” Saya katakan, “Padahal di KR itu yang faktual hanya Sungguh-sungguh Terjadi. Lainnya embuh, ngapunten.”
Lalu apa moral ceritanya? Lansia sebaiknya tetap suka membaca, menulis, mengisi TTS, berinteraksi, bercakap-cakap, dan senam ringan sesempatnya.
Halah, di grup WhatsApp info macam itu selalu muncul, hasil meneruskan pesan orang lain. Orang yang meneruskan belum tentu mempraktikannya. Jarkoni: bisa ngajari ora bisa nglakoni.
Saya termasuk itu, melalui blog.
5 Comments
Oooh, Paman mudik ke Jogja?
Iya, tilik Ibu 🙏💐
👍
Salut buat Ibu, Bang Paman. Isi TTS lengkap dan masih rutin membaca koran 🙏
Beneerr.. Pemerintah sukanya bikin naik tensi 😑
Suwun, Mbak Mpok 🙏💐