“Ikutin saya aja, Bang,” kata saya kepada penjual kerupuk yang sedang berhenti di depan sebuah rumah. Dia dorong gerobak roda tiganya menuju rumah saya. Bukan dia kayuh seperti becak dan gerobak roti keliling. Sedangkan saya berjalan pelan karena membawa panci sayur panas dari rumah tetangga belakang.
Gerobak kerupuk dia berbeda dari kotak kerupuk di atas motor yang dulu saya beli. Penjual yang dulu, dengan sepeda motor, kotak kerupuknya lebih besar dan jangkung. Lubangnya lebih banyak.

Kotak penjual kerupuk berbanyak pintu selalu mengesankan saya sejak kecil. Saya menganggap itu kotak ajaib dan membayangkan seorang anak kecil — tetapi jangan sampai saya — mendekam di dalamnya tanpa ketahuan. Di dalam dia bisa mengerikiti kerupuk dengan leluasa, mirip tikus.

Tutup bulat wadah yang ini tak pernah dia buka. Dia mengakui saat saya tanya. Dia lebih suka membuka tutup besar. Tangannya lebih mudah menjangkau kerupuk putih maupun kerupuk kuning dalam kantong plastik buram.
Pada wadah kerupuk bermotor, lubang bulat adalah akses mengambil kerupuk. Begitu tutup dibuka langsung terlihat kerupuknya. Tutup hanya ada di bagian bawah, karena gravitasi menjadikan prinsip FIFO — first-in first-out — bekerja.
Wadah besar milik penjual terdahulu menjadi dispenser: kerupuk yang masuk lebih dahulu, dituangkan melalui lubang besar di atas, akan keluar lebih awal. Pada gerobak yang kerupuknya dalam plastik, kerupuk yang masuk paling awal akan terambil pada giliran terakhir. Artinya tak beda dari kaleng berkaca di warung. Kerupuk yang di bawah kadang sudah penguk kalau tak cepat habis.
Ah, pentingkah membahas desain wadah kerupuk pedagang keliling? Tidak. Buktinya kantor pemerintah pembina UMKM tak membuat gambar panduan untuk wadah FIFO. Sakndilalah saya kurang kerjaan, sok tau pula, sehingga saya bahas. Itulah kekurangan saya. Suka berkomentar seolah-olah jadi si paling tahu padahal cuma tempe, bosok pula.
Saya menduga, tanpa bertabayun, kalau boks lebih kecil pada gerobak berprinsip FIFO malah akan merepotkan penjual. Lubang bulat akan lebih rendah, dia harus jongkok.
Pada boks jangkung, untuk mengakses lubang atas harus pakai tangga atau berdiri menginjak pundak orang lain seperti lomba panjat pinang.
Lalu enak mana kerupuk yang terdahulu dan sekarang, yang penjual dan produsennya berbeda? Enak yang dulu. Karena desain wadah? Nggak juga. Emang dari sononya.
7 Comments
Selalu ada kerupuk, kuning atau merah, dalam kulkas di rumah saya (pengganti blek kerupuk). Beli Rp 5.000 kadang tak habis dalam seminggu, kadang habis dalam tiga hari.
Tentang tempe bosok, bisa dipakai Tante Kamsi eh Tante Gombal (eh Tante siapa sih?) untuk dimasak jangan tumpang….
Sori tipo, mestinya kuning atau putih.
Hidup kerupuk!
Sayang sekali saya belum suka sambel tumpang 😇
Waa, enak banget kompleks Bang Paman dilewati tukang kerupuk. Yang putih enak, yang kuning juga, terasa bumbu ketumbar 😍
Ada tukang sayur, tukang tape, tukang bakmi, tukang roti, tukang bakso, tukang mi ayam, dulu ada tukang sate
2022-2023 pernah mainan kerupuk, Dari yg awalnya Dodolan mentah Sampai bikin matengan yg dijual perbungkus 1500 untuk dijajakan 2000an, serenteng isi 10, nggak cuma kerupuk, Karak atau gendar pun juga, Sama saja harganya, Untuk penjaja motor cukup pake kargo terpal, hujan aman, secara visual wangun rapih mriyayeni nggak kayak orang jualan kerupuk pada umumnya ting cranthel random nggak safety, manfaatkan anak mahasiswa aja, bayar Harian target area, tiap Hari muter beda wilayah Karena tiap warung Kita ganti dagangannya 2 minggu sekali. Saya bagian Antar jarak jauh ke Pulau sebrang pake bulldog. Nggak Mikir FIFO Karena tiap Hari nggoreng Dan gorengan hari itu habis dititip2kan. Payu? Payu! Cukup? Mayan Kalau Kita bisa manage cyclenya, Lebih dari turah Kalau rodo cethil sithik (Ini yg nggak bisa Dan nggak bakat). Bubar Karena nggak punya endurance, bosan dengan rutinitas yg itu2 saja. Bahkan last cycle di semua area nggak tak ambil, Jan kemaki tenan, ujug2 dapet ticket murah, pulang Dan ngajak dolan simbok Dan simbah,
Wah top tenan.
Seneng meni, ra?