Hari ini di halaman 1, Kompas memuat arsip halaman depan saat terbit pertama kali 60 tahun silam, 28 Juni 1965. Koran itu muncul tiga bulan sebelum guncangan dahsyat politik pada 30 September — 1 Oktober, terutama berikut segala akibatnya yang berjejak panjang dan jauh. Enam dasawarsa untuk koran pasca-Revolusi 1945 bukan waktu cekak, dihitung setelah 20 tahun Indonesia merdeka.
Nama Kompas dulu sering diejek sebagai akronim komando pastor. Koran itu lahir atas permintaan Bung Karno karena semua kekuatan politik dalam skema kesatuan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme) sudah punya surat kabar, hanya Partai Katolik yang belum.
Nama Kompas dari Bung Karno, padahal para pendiri menginginkan nama Bentara — kata ini juga ada dalam Alkitab terjemahan lama maupun baru. Sebelum era SIUPP¹, penerbit Kompas adalah Yayasan Bentara Rakyat. Nama bentara yang masih bertahan hingga kini adalah lembaga kebudayaan Bentara Budaya di Jakarta, Yogyakarta, Surakarta, dan Bali. Saya tak tahu seberapa kuat stigma komando pastor saat ini.
Sebelum Kompas, masyarakat Kristen sudah punya koran Sinar Harapan (SH), terbit mulai 1961. Koran ini sangat kentara menampakkan identitasnya: dalam perjalanan waktu memuat jadwal kebaktian Minggu di beberapa gereja Jakarta, dan ada rubrik renungan rohani yang merujuk Alkitab.
Adapun di Kompas, berita Keuskupan Agung Jakarta bisa muncul sebagai warta ringkas di halaman dalam. Tak ada jadwal misa. Pada 1970-1980-an, kedua koran itu berposisi penting, secara bisnis bagus, dan direken pejabat pemerintahan.
Apakah SH dan Kompas, juga Tempo, termasuk pemetik manfaat bisnis media tanpa persaingan bebas, karena SIT² dan SIUPP pada era Orde Baru bukanlah lisensi yang mudah didapatkan? Pos ini takkan membahas itu. Biarlah itu jatah bloger lain.
Apa saja capaian jurnalistik Kompas yang bermarkas di Palmerah itu, pembaca setianya maupun bekas pembaca setia sudah tahu. Salah satu yang menarik adalah ekspedisi, yakni serangkaian peliputan tematis di lapangan, jika perlu antarpulau, seperti Cincin Api (2011), dengan observasi, seminar kecil dengan ahli geo vulkanik, dan studi pustaka.
Liputan Jelajah Kuliner Nusantara (2013) juga kaya. Ini bukan semata-mata cerita perihal masakan, apalagi cuma info dari kedai ke kedai seperti cerita kuliner sekarang, tetapi juga kultur yang melahirkannya. Diperlukan pendekatan historis dan antropologis. Ketika membahas kuliner Aceh, gaya olahan dapur hutan kombatan GAM³ semasa DOM⁴ juga dibahas khusus.
Ekspedisi Kompas, begitu pun Investigasi dan Jurnalisme Data, serta foto jurnalistik apik, adalah sisi yang saya suka sekaligus tak saya suka. Saya masygul kenapa hanya Kompas yang melakukannya. Jika konteksnya adalah antarkoran cetak, tentu kekesalan saya tak relevan. Media cetak menuju kepunahan, banyak koran tamat, pasar tak meriah lagi.
Tetapi di ranah media digital, Kompas dengan gaya jurnalistiknya seolah tanpa mitra tanding. Bagi saya hal ini tidak sehat. Kenapa? Tak semua media berita bersedia melakukan peliputan mendalam tengah suatu isu secara ajek. Berita sela lebih utama. Untung masih ada yang mencoba menyajikan jeda, misalnya Detik X, menggantikan Majalah Detik. Narasi beberapa kali melakukan juga, dengan OSINT.
Memang ada soal sumber daya, terutama dana dan kapasitas orang, tetapi media gratis yang dimiliki konglomerat nyatanya enggan melakukannya, apalagi berupa ekspedisi jurnalistik.
Juga memang, ada pendapat bahwa konsumen informasi tak butuh produk jurnalistik ala Kompas karena lanskap media sosial telah mendisrupsi banyak hal. Dalam ungkapan sederhana: orang cuma butuh yang selintas, karena perspektif terhadap sebuah isu ada di media sosial — dari utas di X, video pendek memes, sampai video bincang 30 menit lebih di YouTube dan Spotify. Komedi matinya kepakaran Tom Nichols terus terkukuhkan.
Soal setiap orang jadi pakar tak saya perpanjang. Lebih menarik grafik perjalanan harga eceran Kompas. Saat ini harga eceran Kompas Rp12.000, sementara Poskota Rp4.000, dan di Jogja Kedaulatan Rakyat itu Rp4.000, adapun Tribun Jogja cuma Rp2.000.
Koran Bisnis Indonesia sejak terbit 1985 lebih mahal daripada Kompas, sekarang ecerannya Rp13.000. Sedangkan koran Kontan Rp10.000. Jangankan lebih dari satu koran, surat kabar Kompas saja saya sudah tak melanggani. Saya terakhir berlangganan kertas berita itu akhir 2022.
Taruh kata semua media cetak punah, demikian pula e-paper-nya ikut tamat, apakah media berita digital berbasis teks masih laku, dengan konten mendalam, bahasa yang genah, konten visual cantik produksi sendiri, dengan tetap menghormati hak cipta media lain?
Adagium bijaksini mengatakan, kalau pasar sudah emoh carilah celah menghasilkan konten bagus sebelum media berita tamat. Dengan catatan misalnya sebutan media berita masih berlaku. Catatan berikutnya: bagus menurut pasar itu yang bagaimana?
Jangan-jangan misalnya pun ada yang seperti dan setara Kompas dan majalah Tempo tetapi gratis, tanpa disesaki iklan sembulan pula, belum tentu disukai.
—
¹) Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
²) Surat Izin Terbit, bergandengan dengan Surat Izin Cetak, agar media bisa terbit; proses perolehan melibatkan banyak pihak termasuk aparat keamanan
³) Gerakan Aceh Merdeka
⁴) Daerah Operasi Militer