Sore ini niat hati mengambil kantong plastik bekas untuk wadah sampah sementara di dapur, mata saya malah terantuk nama dalam jenama roti: Animo.
Untuk sekian lama, artinya belasan tahun, saya menganggap kata animo sudah tak laku. Sudah jarang media menggunakan kata itu. Maka ketika seseorang bertanya apa arti animo, saya pun memakluminya. Kata animo jarang terucapkan. Di media sosial, misalnya X, setahu saya jarang akun yang menuliskan kata yang tampaknya kita serap dari bahasa Spanyol itu.
Saya pun jarang menuliskan kata animo. Pernah sih, tetapi sekali lagi jarang. Dalam suatu rapat saya pernah sengaja mengucapkan animo. Ada yang tertawa, dan ada yang nyeletuk, “Jadul banget istilahnya.” Kedua orang itu bukan milenial, bahkan yang seorang termasuk boomer.
Badu yang telaten membaca media lama — lihat saja contohnya dalam “Yang Aktual dan yang Aktuil” — pasti bisa menemukan kata selain animo yang dulu laku. Barusan saya cari, adakah berita bulan ini yang menerapkan kata animo dalam judul. Teryata ada. Jadi, selama ini saya salah sangka.
6 Comments
Terima kasih Mas atensinya. Aih, “atensi” ini termasuk lawas juga nggak? Kosakata jadul yg masih lekat di benak saya sampai sekarang: “dinaungi Dewi Fortuna” (istilah yang sepertinya sudah jarang dipakai) dan “berbagi skor kacamata” (kalau ini rasanya masih).
Atensi tampaknya lebih baru ketimbang animo.
Dewi Fortuna tanpa Anwar nilai jarang dipahami. Skor kacamata sudah langka.
Riset konten media itu menarik, dari teks sampai gambar.
Pekerja media dan pembaca media mengalami regenerasi. Kini setelah ada media sosial, bahasa media terlembagakan terpengaruh bahasa medsos. Di sisi lain, secara kasuistis, sejumlah pekerja media tampaknya agak kurang akrab dengan tuturan dalam buku apalagi buku sebelum mereka lahir.
BTW bahasa Sanento Yuliman itu unik ya. Tulisan dia di Tempo juga.
Doeloe ada iklan : Animo, obat antimabuuuuuk!
🏃♂️🏃♂️🏃♂️🏃♂️🏃♂️
Antimasuuukkkk
Anti-Joko Widodo sajalah!
🤣😂😅
Siapa dia?