Menghidupkan ruang dalam bangunan tua

Bangunan kuno tetap bisa relevan dan fungsional asal disertai selera.

▒ Lama baca < 1 menit

Minimarket Karta di Stasiun Tugu Yogyakarta — Blogombal.com

Ini dulu ruang apa ya? Saya lupa. Mungkin Anda yang akrab dengan Stasiun Tugu, Yogyakarta, ingat dulu ruang dengan pintu besi tanpa kaca, dan jendela besinya juga tanpa kaca, itu untuk apa. Kini ruang tersebut untuk minimarket Karta, dengan logotype mirip Jogja Istimewa.

Minimarket Karta di Stasiun Tugu Yogyakarta — Blogombal.com

Tentu kini ada kaca setelah jendela besi. Kaca tersebut untuk etalase. Adapun ruang di sebaliknya, dengan pintu yang mirip, menghadap ke utara, digunakan untuk pos polisi. Stasiun Tugu mulai beroperasi tahun 1887. Disebut tugu karena dianggap dekat Tugu Yogyakarta — satu kilometer lebih sih.

Minimarket Karta di Stasiun Tugu Yogyakarta — Blogombal.com

Merestorasi, merevitalisasi, merejuvinasi, atau apalah istilahnya yang tepat, untuk bangunan kuno bukanlah urusan gampang. Butuh selera yang genah dan apresiasi historis. Kecenderungan yang dulu di banyak situs adalah asal merubuhkan atau ganti dengan ornemen modern misalnya rangka aluminium dan kaca gelap, bahkan cat pun diganti semaunya.

Minimarket Karta di Stasiun Tugu Yogyakarta — Blogombal.com
TEMPELAN | Sayang, pintu antik minimarket ini ditempeli kertas dan lakban, seolah darurat padahal untuk jangka lama.

Untunglah sekarang selera pemerintah, termasuk di dalamnya adalah BUMN, mulai membaik. Demikianlah pula selera sejumlah pemprov, pemkot, dan pemkab dalam menata unsur kota: lebih etstetis, untuk situs lama maupun baru. Barangkali media sosial menjadi pendorong kesadaran. Setahu saya sebelum Ridwan Kamil di Bandung membuat tulisan besar tebal penanda tetenger (landmark), belum ada wali kota dan bupati daerah lain yang melakukannya.

Piet Mondrian di Stasiun Tugu Yogyakarta — Blogombal.com

10 Comments

Ndik Senin 9 Juni 2025 ~ 19.32 Reply

Roger yg Rumah Jati itu Om Dah pernah cerita, Sekarang agak kurang terawat Karena pakdhe Prtm mungkin sudah sepuh, kebetulan gathuk dengan paman yg tadinya tinggal di Dalam, bolone morotuwo katanya

Pemilik Blog Senin 9 Juni 2025 ~ 21.40 Reply

Kok Endiks tahu inisial yang menempati?
Heran saya? 😇

Ndik Selasa 10 Juni 2025 ~ 09.18 Reply

Kota kecil om, beliau pernahipun apa sama om paman?

Jambu kluthuk yg lebat membantu Rumah tsb terselamatkan dari visualisasi g-earth, hanya aneka Rupa isen isen Rumah yg buat sebagian orang kayak harta Karun rodo Eman Karena kurang terawat.

Sering mampir Kalau Lagi kondur ngetan Om?

Pemilik Blog Selasa 10 Juni 2025 ~ 10.17

Kapernah apa urutannya, saya agak bingung. Rumah ortu beliau di seberang, sebelah kuburan, dekat tanggul. Saya ngaturi ortunya Bulik W dan Paklik W.

Kalo yang di kulon Pasar Sembung, yang ada tanaman joko nantang, itu Mbah Putri Cilik, adiknya Mbah Putri saya, ibunya ibu saya.

Suaminya pernah dapat hadiah tanah di Gringsing dari Belanda karena menaklukkan bénggol kecu Alas Roban.

Saya jarang ke Cepiring, apalagi setelah dewasa. Terakhir 2017 antar ibu saya, cari makam Mbah Kakung.

Tapi saya dikit bisa niruin dialek Kendal sampai Weleri. Porah, ra?

Ndik Minggu 8 Juni 2025 ~ 21.46 Reply

Bangunan tua itu Mahal, secara fungsi Dan estetika.

Saya ngalami rodo nggregel harus membobok porcelain tua peninggalan colonial di sudut kota Jakarta, untuk apa? Rebranding. Sebuah fitting out menyesuaikan standarisasi brand agar konsumen memiliki pengalaman yg Sama dimanapun cabang.

Skip nggregel, it’s about money, not about idealism, yg dosa ya si arsitek, bukan tukang kayak saya. Nggak tak kerjain ya nggak bayaran, skip demi idealisme, ya dibobok juga Oleh orang lain, Dia yg dapet duit.

Di kota tempat Sekolah Dulu ada kompleks kota lama yg Salah satu bangunannya Kita hajar, ribet dengan Segala aspek legalnya, penolakannya Dan sebagainya. Kenapa dipaksakan? Lha yg nyuruh yg punya. Si empu sudah generasi ketiga atau Keempat, lupa, kebutuhannya dengan bangunan itu sudah nggak relevant. Kalau Mau dipertahankan biaya perawatan juga Mahal, buat yg bergelut dengan bangunan tua tahu Kalau material jaman Dulu Dan Sekarang kadang tidak compatible. Mau di restorasi ya nggak Guna juga Karena nggak relevant dengan kebutuhannya tadi. Ndak usah protest, penolakan itu nggak rational Kalau sampeyan cuma dagang idealisme Tanpa mbantu si empunya membiayai bangunan itu.

Saya diberkahi Karena mengalami pengalaman di proyek2 Lalu Dari merestorasi (dengan metode lampau, beberapa pake tlethong, ya tahi sapi atau jaran) hingga menghancurkan (blas Sampai rata Tanah yg bikin nggregel ati) menggantinya dengan bangunan yg contemporary atau bahkan yg rodo ndeso.

Syukurlah saat Ini banyak yg tercerahkan tak perlu dibumi hanguskan, namun dengan sedikit kreatifitas Rona chic Lebih menarik Dan Lebih murah. Opsi yg entah kenapa beberapa waktu Lalu tak banyak keluar, mungkin Ini Sisi positive inet, Kita bisa menambah khasanah dengan komparasi ilmu Dari seluruh penjuru dunia.

Di Solo Dulu selalu sempatkan mampir ke tempat Kawan, bangunan tua pol yg isinya klangenan dagangan barang2 tua, bongkaran bangunan lain berikut perkakasnya. Kangen nggedebusnya Dan jejaring perkawanan makelar2 Ra cetha. Nyari2 porcelain atau tegel tua tentunya tersedia tinggal bawa pikap Dan bayar.

Jauh dilubuk hati Kalau punya rejeki Dan plataran yg Luas, bangunan tua (bukan jengki lho) ala colonial, ala taipan jadul, ala priyayi jaman dulu Jadi impian. Ya saya Tahu rumusnya, selain tentang craft (contoh di detail angin2 atau fascia atas pintu ruang tamu ke ruang Dalam, tentang gandok, kongliongan, identities gunungan di atap dsb) arsitektur itu tentang 5 dimensi. Njenengan yg pernah tinggal di bangunan semacam itu pasti Tahu kenapa.

Jangan terlalu percaya tulisan saya, Saya bukan arsitek, hanya oportunis sembarang kalir.

Pemilik Blog Minggu 8 Juni 2025 ~ 22.36 Reply

Betul, bangunan tua itu mahal perawatan. Maka kalo masuk agar budaya harus di subsidiary pemkot termasuk dalam PBB.

Pernah saya dengar dari pemerhati bangunan tua, di Menteng pemilik rumah , tepatnya pemilik baru, bisa mengubah klasifikasi status bangunan sebagai cagar budaya sehingga bisa mengubah bahkan membongkar bangunan.

BTW nasib rumah-rujak dinas tua di PG Tjepiring bagaimana, Ndik?

Kalo rumah antik simbah buyut saya bukan rumah dinas dan di luar area pabrik

Ndik Senin 9 Juni 2025 ~ 07.51 Reply

Perumahan karyawan yg kopel deret atau yg sisih kulon om? Saya sudah beberapa tahun nggak main ke cepiring Dan sekitarnya, kebetulan paman yg di tinggal didalam sudah beli Rumah diperumahan kecil2 sekitar yg menjamur. Rumah tua yg diambil alih Oleh bumn (PTP atau kai) atau balai pemerintah rata2 agak mending nasibnya kecuali yg deret, deret itu Lebih ke worker Dan terkadang dengan eyelan, bisa turun generasi pemakaiannya, Ini dimanapun, kecenderungan untuk diobrak abrik Oleh pemakai cenderung besar, Jadi warunglah, apalah, dan berakhir rasa autentik itu memudar. Disini Jadi celah Masuk untuk renovasi besar2an Dan sebagainya (termasuk ngusir alus). Sedang Rumah priyayi Dan kelas perwira cenderung Aman, selain mereka Lebih settle, well educated, biasanya pakai sebentar Karena pola karir Dan kadang sudah pada punya rumah sendiri, kalaupun ngacak acak mending dirumah sendiri biar ora muspro, acak2 Rumah dinas tua cenderung untuk kenyamanan, ngganti eternit, mlester Kamar mandi atau nambahi garasi, biasanya tak jauh Dari situ. ketika ada yg acak2an biasanya sudah generasi lanjutannya dari mantan pengguna yg status ya juragan pol jaman Dulu yg kadang pekewuh ngusirnya atau kebacut suwung Dan Jadi pulung lsm atau siapalah yg ujug2 nemu milik tuhan.
Beberapa waktu silam dapat tawaran ngejob memetakan asset Dan bangunan tua yg nyebar Dan uombo diluar wilayah, cukup menggelikan Karena mandatory harus dikancani tentara. Entah gak tak ambil, ada tawaran lain yg Lebih certain resikonya

Pemilik Blog Senin 9 Juni 2025 ~ 17.55

Yang rumah-rumah gedong dengan teras besar itu.

Kalo rumah Mbah Buyut saya, rumah Jawa dengan ukiran dan gandok, sudah rusak. Lokasi di jalan lama Daendels yang kemudian jembatan kalinya difungsikan lagi.

Dari kulon, sebelum jembatan, ada rumah kayu jati kuno. Dulu simbah buyut sbg wong Yoja, kerja di pabrik Walson, Purosani, lalu ditarik ke PG Tjepiring.

Gak tau kenapa anak-anak lahir di Jogja, dan ibu saya juga lahir di Jogja, lalu sempat di Tjepiring. Dan ke Jogja lagi dst, lalu hari tua di Jogja, bukan di Salatiga.

mpokb Minggu 8 Juni 2025 ~ 21.27 Reply

Estetik dan sangat kalcer, kata anak sekarang 👍

Pemilik Blog Minggu 8 Juni 2025 ~ 22.41 Reply

Dulu ada cewek SMA ke rumah saya lalu komen saat ngeliat rak buku yang isinya dikit itu, “Ini estetik. Aku suka.”

Saya tanya estetik itu apa. Dia bilang sama dengan keren, kekinian. Saya tertawa, dia heran.

Pertama kali baca “kalcer” do medsos saya sempat bingung. Saya memang terlalu tua untuk memahami bahasa medsos. 🙈🙈🙈

Tinggalkan Balasan