Soal pamer, memang bawaan manusia

Lebih mudah bagi orang kaya untuk bersandiwara miskin daripada sebaliknya.

▒ Lama baca < 1 menit

Bukan dari grup WhatsApp, melainkan perorangan, saya terima foto dan video para-para nyonya makmur meriung dan pamer. Di X juga saya lihat. Saya tak mencari tahu siapakah yang memotret dan merekam video, lalu siapa yang mengunggah konten ke media sosial.

Saya tertarik membahas ini karena mendapatkan pertanyaan berupa gerutu. Lebih dari seorang. Intinya: ekonomi di bawah lagi nggak bagus, kenapa ada orang pamer harta? Apa mereka masih butuh pengakuan?

Bagi saya, kebutuhan akan validasi sosial bisa melekati siapa pun, apa pun bentuk dan tingkatnya, termasuk kita. Itu alami. Bagian dari kebutuhan eksistensi sosial manusia. Dirinya memang ada dan diterima. Kalau yang melakukan dengan cara pamer kemakmuran adalah orang yang digaji oleh rakyat ya sungguh terwelu.

Tetapi bisa saja bagi para-para pelaku itu yang mereka lakukan adalah ungkapan mensyukuri rezeki. Syukur atas ni’mah tanpa melalaikan nasib sesama. Buktinya mereka selalu ingat beramal, dengan maupun tanpa publikasi.

Jika pun ada pasal pamer, apakah setiap pelaku, termasuk saya yang misalnya memamerkan ponsel yang untuk ukuran saya mahal, bersedia menerima risiko sosial berupa respons negatif, dari yang ringan sampai yang nyelekit?

Tak semua orang kaya, maupun superkaya, butuh validasi sosial berlebihan, dalam arti jauh melebihi jangkauan lingkar sosialnya. Mereka sadar bahwa masyarakat luas seluas-luasnya bukanlah sirkelnya. Maka mereka berhati-hati memanfaatkan media sosial.

Mereka hanya pamer terhadap kalangan yang setara. Ibarat seorang audiophile beli sepasang sepiker floorstanding PMC atau Dynaudio Rp250 juta namun tak menunjukkan di media sosial. Hanya kepada tamu di rumahnya, yang seminat, dia menjawab ringkas tersamar. Seperti, konon, jika dua sastrawan besar bersua, mereka tak membahas karya.

Salah satu sebab, capaian ekonomi mereka, kaum superkaya itu, tak ditempuh dengan meniti dan memanjat media sosial. Bahkan tanpa media sosial pun bisnis mereka terus melaju, terlepas dari lurus ataukah bengkok.

Kalau saya kaya, akan suka pamer juga? Semoga tidak. Semoga saya akan memilih sok miskin, bergaya sahaja. Lebih mudah bagi orang kaya untuk bersandiwara miskin daripada sebaliknya. Semoga aman dari orang pajak.

3 Comments

Junianto Senin 16 Juni 2025 ~ 08.24 Reply

Curhat eh cerita, ya Paman.

Istri saya suka dan sering beli barang bermerek/mahal, tapi antipamer di dunia nyata apalagi dunia maya.

Dia beli karena berduit😁 dan seneng barang-barang bagus, awet.

Bermerek dan mahal, dipakai sehari-hari di warungnya karena tiap hari rata-rata dia di warung hampir 12 jam (pukul 07.00 – 18.00). Cuma sesekali dipakai pergi, pas keluar dengan saya (dia sangat jarang pergi bersama kawan-kawannya).

Intinya, dia antipamer.

Saya, sebaliknya, punya satu trail tua tidak full ori saja, saben byar dipamerkan di FB dan IG, kadang-kadang blog.😁

Ndik Minggu 8 Juni 2025 ~ 19.24 Reply

Saya pernah diajari untuk membedakan orang Kaya, belum Dan yg bukan, dulu saat Masih kerja di kemang, bukan merumuskan namun tipis saja memetakan, sebagai target market tentunya.

Bos Dulu sering bikin gala dinner, entah untuk peluncuran produk, atau untuk apakah hingga yg kurang penting sebenarnya Dalam kacamata saya saat itu, disana Kita secara tak langsung diajari menghafal siapa siapa Dan bagaimana. Tak ada pejabat, tak ada artis.

Third generation justru yg Jadi arah untuk Kita Tahu Dan hafalkan. Okb boleh juga katanya untuk ngejar Karena mereka Lebih konsumeris untuk Segala hal. Ini yg Lebih susah kita rumuskan Dan hafalkan.

Tak bisa Lagi Kita menebak Dari sepatu, Dari horologi. Itu hanya membedakan old money. Ilmu itu Masih terpakai Sampai Sekarang meski sebenarnya saya cukup tertekan saat itu.

Ada istilah, money can’t buy class, taste and manner. Hari Ini Kita tahu banyak orang yg mencoba ingin membeli tapi nggak bisa, nggak ada yg jual di supermarket atau di tokopedia soalnya. Tapi tak Jadi soal, Ini Indonesia, sugih bebas

Pemilik Blog Minggu 8 Juni 2025 ~ 20.21 Reply

Aha!
Saya pernah dapat cerita teman sehabis me wawancara kongkomerat minyak goreng, properti, merangkap pemilik bank. Kaus kakinya masih dikareti. Dia generasi pertama.

Tinggalkan Balasan