Menjelang magrib hari masih terang. Bahkan sebelumnya, pukul lima sore, sinar mentari sangat menyilaukan pengemudi angkot CH, jurusan Chandra Indah (Kobek) – Cililitan (Jatim). Maka dari jauh, nyala dua bohlam jualan di tepi Jalan Raya Kecapi, Pondokmelati, Kobek, Jabar, itu tak begitu kentara.
Setelah saya mendekat, tampaklah ada beberapa lampu lain yang menyala. Harga lampu per buah Rp18.000 — Rp55.000. Maka kini lumrah, warung penjual buah selalu terang benderang.
Ini pasti penjual baru, saya membatin. Sebelumnya saya tak pernah melihatnya. Rupa meja berundak dari kayu peti menunjukkan bahwa itu perabot anyar.
Sudah jamak jika penjual lampu di kaki lima dan tempat lain yang tak permanen mulai beroperasi sore. Kalau menjual siang hari, di tempat terbuka, sulit memamerkan cerlang dagangan.
Sejauh saya ingat, penjual lampu di kaki lima muncul setelah ada lampu hemat energi, awal 1990-an, namun belum era LED. Banyak produk murmer dari Cina. Mereknya bermacam-macam. Sungguh berbeda dari era bohlam biasa, merek yang ada hanya Philips, Osram, dan Sibalec yang bikinan Jogja.
Era lampu hemat energi pra-LED diwarnai munculnya tukang reparasi lampu. Maka lampu mati hidup lagi sebagai refurbished — bahkan zombie itu dijual, saya pernah membeli pada 2009. Bohlam jenis compact fluorescent lamp (CFL) mengandung merkuri dalam takaran rendah, konon tak membahayakan kesehatan.
Setelah muncul lampu LED, beda lagi peta pasar murahnya. Konsumen bisa membeli kit lampu secara eceran. Bisa dirakit sendiri tanpa membutuhkan solder. Di lokapasar banyak tersedia, tinggal pilih berapa watt.
2 Comments
Sepupu jauh saya ada yang sukses buka usaha “dokter lampu”, sampai buka beberapa cabang. Celakanya, saat ini nambah cabang istri pula.
Ya, yang terakhir info sangat tidak penting.
Berarti ada pasarnya.
Soal istri tambahan, dalam bahasa Jawa, maaf, bermula dari madhangi kanthi ndandani plenthong dadi metengi 🙈