↻ Lama baca < 1 menit ↬

BARANG BUANGAN BISA DIPAKAI LAGI.

Maka terpasanglah lampu bekas bermerek Shinyoku seharga Rp 6.000 itu. Saya tak tahu dia akan bertahan sampai kapan di meja kerja saya. Saya sudah memberinya tanggal, sehingga nanti ketika dia pensiun saya bisa menghitung. Mestinya sih Rp 3.000, sesuai papan nama, tapi dia bilang, “Yang ini beda, Pak!” Ya sudah, saya mengalah.

Jangankan lampu bekas yang sudah gosong dan kotor; lampu baru yang saya beli di Ace Hardware pun sesampainya di rumah meredup, dan tiga minggu kemudian padam. Untung ada garansi setahun. Saya kemarin bisa menukarkannya dengan yang baru.

Lampu bekas 9 Watt  itu saya beli di Warung Rezeki, warungnya Doktor Lampu. Pria yang selalu bekerja dengan kemeja dimaksukkan ke celana itu mereparasi lampu bekas dan menjualnya. Khususnya lampu hemat energi. Dari mana mendapatkannya? Di tempat praktiknya di pingir jalan, yang berukuran 2,5 x 2,5 meter, dengan dinding tripleks kusam itu, dia hanya bilang, “Ada aja.”

Apakah lampu bekas yang saya beli itu terbukti hemat energi sesuai spesifikasi? Saya tidak mengukurnya, selain tidak ingin juga tidak punya alatnya. Yang penting keisengan saya positif, mencoba reuse agar sampah perlengkapan elektronik tak bertambah satu (setidaknya tertunda).

Selain reuse saya juga mencoba sok menyelami sebuah subset kecil sosio-ekonomis yang barangkali tak dihitung oleh para pakar dan para legislator. Ini adalah sebuah nieche, yang bisa diterjemahkan sebagai sebuah kantong kehidupan masyarakat ekonomi lemah yang selalu punya cara pemenuhan kebutuhan yang sesuai daya beli mereka.

Apa tadi, mereka? Ralat: kami. Termasuk saya, setidaknya dalam beberapa hal secara temporer. :D

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *