Mata silau dan canda usang Tangerang plus Bantul

Berangkat dan pulang kerja dengan menyipitkan mata. Badan kanan lebih gelap.

▒ Lama baca < 1 menit

Mata sopir angkot CH silau oleh matahari sore — Blogombal.com

Sudah pukul lima sore lebih sedikit, tapi mentari di atas kaki langit di barat masih memamerkan cahayanya, mumpung langit tidak mendung. Sopir angkot CH menurunkan tudung cahaya agar matanya tak silau.

Saya yang duduk di sebelah kirinya tak mendapatkan sun visor di depan, pada pertemuan atap dan kaca mobil. Saya mencoba memotret, hasilnya cenderung menampilkan siluet.

Mata sopir angkot CH silau oleh matahari sore — Blogombal.com

Yah, namanya juga hukum alam. Saya teringat peperangan dalam cerita silat S.H. Mintardja, pihak yang membelakangi matahari pagi maupun sore lebih beruntung. Mereka lebih mudah melihat anak panah yang melesat datang maupun tombak yang mendadak sontak mengarah leher atau dada. Mereka juga lebih tanggap terhadap sabetan pedang lawan yang silau.

Saya ingat, sekali waktu pernah salah memilih jalur dalam percabangan jalan tol, karena sore itu rambu petunjuk arah hanya tampak sebagai bidang hitam berlatar kemuning langit barat. Saat itu saya tak berkacamata gelap. Akibatnya saya terjebak kemacetan orang pulang kerja.

Hmmm… arah matahari dan saat berangkat maupun pulang kerja. Seolah mengabaikan kelaziman sun visor dan sun glasses, dulu orang Tangerang yang bekerja di Jakarta diejek dengan canda, bahwa mereka berangkat kerja kriyip-kriyip menyipitkan mata, dan pulang sore dengan laku yang sama. Tangerang di barat Jakarta.

Saya juga teringat ejekan orang terhadap komuter pesepeda dari Bantul yang bekerja di Yogyakarta. Tangan kanan mereka, setidaknya telapak sampai siku, juga bagian kanan leher dan pipi, lebih gelap dari yang kiri.

Bantul di selatan Yogya. Saat pagi berangkat kerja, matahari menyapa dari sisi kanan. Sore saat kembali ke Palbapang, Bantul, sang surya membakar dari kanan lagi. Tentu itu hanya mitos. Padahal jika mereka pekerja bangunan, tingkat gosong kiri dan kanan tubuh sama.

Oh, humor mata angin. Apakah sekarang masih laku, di kalangan orang pedalaman maupun pesisir?

5 Comments

@sandalian Kamis 29 Mei 2025 ~ 14.11 Reply

Rumah saya Bantul tapi di ujung barat.

Saat berangkat kerja, naik motor menghadap ke timur menyongsong matahari terbit. Pulangnya mengejar matahari tenggelam.

Istri saya selalu rewel mengingatkan untuk memakai krim tabir surya sebelum berangkat kerja.

Pemilik Blog Kamis 29 Mei 2025 ~ 17.51 Reply

Pesan Diajeng Penari tepat. Bapak muda yang berbahaya ini harus selalu diingatkan 😂

mpokb Rabu 28 Mei 2025 ~ 22.44 Reply

Ahaha, kalau penglaju naik bus di tol Jagorawi bisa berebut gorden sama penumpang depan/belakang, karena kadang gorden nggak menutup sepanjang jendela :D

Pemilik Blog Kamis 29 Mei 2025 ~ 02.52 Reply

Waiiiniiii…. 😂

Kalo saya dulu naik angkot ke Cililitan atau TMII dari rumah pagi menjelang siang, lalu duduk di belakang, tapi jendela gak bisa dibuka, uh tersorot sinar dari belakang, timur.

Kadang jendela bisa dibuka tapi penumpang perempuan gak mau rambutnya jadi gak rapi karena kena angin. Tapi setelah pake kerudung tetap gak mau kena angin, katanya risi, geli

Tinggalkan Balasan