Soal lama, yakni keanehan logika bahasa rambu lalu lintas, saya anggap selesai. Belok kiri jalan terus. Dulu saya kerap mempersoalkan logika kalimat itu. Kalau lurus jalan terus itu masuk akal.
Sekarang sih biarin aja. Anggap saja hal itu semacam bahasa jurnalistik: berhasil digagalkan, padahal ada pilihan yang lebih hemat kata, aktif pula, yakni menggagalkan. Para jurnalis pencinta kalimat itu mungkin menolak saran saya.
Lalu secara ngawur saya menyamakannya dengan bahasa Inggris yang menurut saya aneh, yakni make a phone call. Tidak hemat kata.
Kalimat tadi tidak menyakitkan. Bandingkan dengan he broke his leg. Dalam cara berpikir bahasa Indonesia, kita menyoal siapa yang sengaja mematahkan kaki sendiri? Orang cedera ditabrak pemobil mabuk kok malah korban yang dipersalahkan. Anda pasti menilai saya bodoh. Saya tak menyangkal. Bahasa Inggris saya memang burook.
Lalu soal rambu belok kiri jalan terus maupun belok kiri ikut lampu APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas)? Rupanya Dishub Kota Yogyakarta menyukai kata-kata verbal. Padahal lebih praktis jika memanfaatkan lampu.
Kalau belok kiri boleh langsung, panah hijau menyala terus, disertai lampu kuning berkedip. Kalau belok kiri dilarang langsung, panah kiri menyala merah.
Setahu saya, umumnya lampu merah di jalan bersimpang yang memiliki belokan ke ke kiri ada pada tiga titik. Yakni sisi kiri jalan, atas tengah, dan sisi kanan jalan.
Anda punya pandangan lain?
2 Comments
Pernah ada istilah ‘bekibolang’, belok kiri boleh langsung. Instruksi ‘boleh langsung’ sepertinya lebih jelas ketimbang ‘jalan terus’ ya?
Tepat!
Bekibolang itu sip 😇👍💌