Kantor lama KR menyaksikan perubahan lanskap media

Warga jelas lebih kenal nama penyiar radio ketimbang editor top koran lokal.

▒ Lama baca 2 menit

Kantor lama KR menyaksikan perubahan lanskap media — Blogombal.com

Pagi tadi, menjelang pukul delapan, papan koran gratis berlapis kaca, di depan kantor lama Kedaulatan Rakyat (KR) di Yogyakarta, itu tak ada yang membaca. Dulu banget, koran gratis di situ dirubung, termasuk oleh tukang becak. Apalagi jika ada berita utama sepak bola.

Saya membatin, bukti bahwa zaman sudah berubah adalah koran gratis di depan kantor penerbitnya tak ada yang memedulikan. Koran gratis itu edisi hari ini (Kamis, 15/5/2025).

Kantor lama KR menyaksikan perubahan lanskap media — Blogombal.com

Sebagian tukang becak masa kini mendapatkan info dari ponsel. Jalan Mangkubumi, tempat kantor lama KR, dulu ada toko bukunya, adalah jalan ramai menuju ruas berikutnya, Jalan Malioboro.

Serpihan masa lalu yang masih hidup di bagian depan kantor lama KR adalah kantor pos kecil. Seingat saya pada masa jaya KR, setelah kantor redaksi dan percetakan pindah ke Jalan Raya Jogja-Solo di timur kota, dulu tak ada kantor pos. Tentu Alfamart di situ juga belum ada karena minimarket saat itu belum menjamur.

Kantor lama KR menyaksikan perubahan lanskap media — Blogombal.com

Saya kemudian merenungkan hal lain. Kelak setelah semua edisi cetak koran daerah tamat, apakah warga masih merasa punya keterikatan dengan koran lokal?

Tak semua orang membaca e-paper yang harus didapatkan dengan membayar. Padahal dari media daerah yang tampil sebagai situs web, rasa kedaerahannya kerap pudar.

Situs web berita memang beda. Biarpun merupakan media lokal, sering kali warta nasional dan internasional lebih mengemuka. Bahkan ada situs media daerah yang halaman berita kota dan kabupaten di provinsinya tak setiap hari ada.

Kini warga aglomerasi sudah menjadi pewarta melalui media sosial. Adapun berita dari daerah, yang dulu disebut daerah tingkat dua, lebih sering dari instansi pemerintah termasuk polisi. Selain itu juga dari perusahaan dan penyelenggara acara.

Katakanlah ada berita anak tercebur sumur, lebih dulu warga melaporkan di media sosial. Demikian pula saat warga memanggil damkar untuk menangkap ular.

Kembali ke keterikatan warga dengan media lokal, pada era media cetak warga bisa bangga akan media dan bos media. Misalnya orang Jatim terhadap Jawa Pos dan Dahlan Iskan. Sementara Suara Merdeka menyebut diri korannya wong Jawa Tengah.

Juga pada era media cetak, berupa koran maupun majalah, pembaca setia merasa kenal pemimpin redaksi, wartawan tertentu (terutama seni dan olahraga), dan kolumnisnya.

Kini, dari media daring berbasis daerah, apakah pembaca tahu nama pemrednya bahkan kolumnis andalannya? Publik lebih mengenal nama penyiar stasiun radio favorit nya. Radio personality lebih dikenal karena dia bisa didengar dengan menyambi. Tetapi tidak dengan berita tertulis, sehebat apa pun isinya.

Dalam jagat daring, pembedaan media daerah dan Jakarta tak berlaku. Delapan tahun lalu saya memanfaatkan dasbor layanan AI untuk peta berita, berikut diagramnya, ternyata berita nasional banyak didapat dari media daerah, terutama yang merupakan bagian dari jaringan, misalnya Tribun Network. Mungkin si robot kurang cermat mengendus.

Adapun soal orang di balik dapur berita, sekarang publik hanya peduli apakah yang bersangkutan muncul di YouTube. Hal sama terjadi pada kolumnis, yang setidaknya ada di X dan Instagram. Entah bagaimana esok dengan posisi mereka Substack dan Threads.

Tinggalkan Balasan