Tangan kiri pegang payung, tangan kanan mengipasi sate

Apakah ponsel, apalagi yang berkamera, justru mengikis kesadaran kita di lingkungan kita berada?

▒ Lama baca < 1 menit

Pasar Beringharjo: Tangan kiri pegang payung, tangan kanan mengipasi sate — Blogombal.com

Inilah perjuangan hidup. Kedua ibu penjual sate ayam di depan Pasar Beringharjo, Yogyakarta, ini tangan kanannya mengipasi sate, sementara tangan kirinya memegang payung.

Siang itu, Jumat 9 Mei 2025, pukul 12.57, mentari terasakan merdeka membakar Malioboro. Namun sejam kemudian hingga malam hujan mengguyur seluruh kota.

Saya hanya melihat sekilas bagaimana kedua perempuan itu bekerja karena saya dan istri harus bergegas ke tempat lain, naik becak kayuh, bukan becak motor.

Saya tak tahu setelah sate — satai jika merujuk bahasa baku — mereka matang, lalu harus memasukkan ke pincuk dan menyerahkannya kepada pembeli, payungnya diapakan, asal ditaruh atau dilipat dulu, atau ada cara lain.

Begitu banyak hal yang kita lihat dan membuat kita terkesan secara selintas turistik, setelah itu lupa. Pengevaluasi rekaman CCTV di bank dekat kedua penjual sate itu pun belum tentu peduli cara kerja penjual sate itu.

Apakah ponsel dalam perjalanan hanya membuat kita asyik menatap layar, memotret untuk kemudian kita hapus karena tak tahu untuk apa, dan membalas pesan, tetapi kita kekurangan kesempatan mengamati sekitar?

Saya tak menggugat orang lain. Saya menanya diri sendiri, mencoba becermin. Mungkin menikmati perjalanan untuk urusan apa pun tanpa mengurusi ponsel bisa membuat saya menyatu dengan atmosfer ruang tertutup maupun terbuka.

Ya, menyatu bukan hanya dengan apa pun yang tampak di mata namun juga hawa, bau, suara, dan apa pun yang terindrai oleh diri saya. Ternyata kesadaran adalah hal yang kompleks.

Kita mungkin rajin membuat dokumentasi namun lebih ke foto diri di sebuah spot dan tak tahu bagaimana memaknai yang terlihat

Tinggalkan Balasan