Saya sering melewati rumah di tikungan dalam ruas gang yang tak cukup untuk mobil berpapasan itu. Namun baru tadi pagi saya menyadari kehadiran galon yang lebih kecil dari galon Aqua, berisi air, ada kerannya.
Tinggi pagar itu sedagu pria dewasa. Jika keran dipencet, air tinggal ditampung dalam wadah yang dipegang di bawahnya. Atau, kalau tak malu, orang yang kehausan tinggal mengatur posisi berdiri dan membuka mulut.
Saya membatin, misalnya itu air minum gratis berarti mengulangi kelaziman abad lalu di desa dan kota kecil: ada saja rumah yang menyediakan kendi berisi air mentah untuk pejalan kaki. Kini lumrah orang bepergian berbekal air minum. Mau beli juga mudah.
Begitulah, setiap orang lebih kuat menahan lapar daripada dahaga. Maka air minum gratis adalah berkah. Sayang hingga kini tap water fountain atau water bubbler alias air muncrat adalah barang mewah, kalaupun ada belum tentu terawat. Saya pernah melihatnya di taman Kota Lama Semarang. Air minum gratis tak diurus. Memang sih misalnya diurus ada soal lain yakni higiene.
Tetapi benarkah galon pada pagar itu adalah minuman gratis? Oh, jangan-jangan itu pengganti wastafel untuk mencuci tangan sebelum masuk rumah. Kebiasaan itu lazim saat pandemi Covid-19. Kenapa saya lupa hal itu ya?
2 Comments
Jaman dulu, kendi untuk wadah minum dan padasan untuk wadah air cuci tangan/kaki.
Hingga SMA, saya masih menjumpai rumah teman sekolah yang menaruh kendi berisi air minum di atas pagar rumahnya.
Jalan depan rumahnya dilengkapi dengan trotoar dan merupakan jalur siapapun lewat saat berangkat maupun pulang dari pasar.
1. Betul, mendukung itu lumrah, terutama di jalan yang ramai pejalan kaki, misalnya dari desa ke pasar pinggir kota apalagi tengah kota, karena ongkos dokar mahal, belum ada mobil angkot, dan belum ada air botolan yang dipelopori Aqua
2. Juga betul, padasan ada di dekat sumur samping rumah dan juga langgar pribadi yang bentuknya rumah panggung untuk bersuci diri